Mengenal Kawasan Bisnis Terkait Lapangan Merdeka Medan

Oleh: Fadmin Prihatin Malau

Sejak awal sejarah keberadaan Lapangan Merdeka Medan berhubungan erat dengan kawasan jalan Haryono MT, jalan Surabaya, jalan Bandung, jalan Ceribon Medan disebut kawasan Kanton. Sebutan Kanton masih sangat popular tahun 70-an. Kini sebutan itu mulai hilang. Kawasan itu dahulu pusat perdagangan di Medan dan sampai kini masih akan tetapi tidak seperti dahulu lagi. Sebutan Kanton berasal dari hubungan dagang pemerintahan Islam dengan Cina dan Indonesia (nusantara) yang terjadi pada pertengahan abad ke-8 berdasarkan catatan orang-orang Eropa menyebutkan hubungan dakwah Islamiyah sudah dimulai sejak generasi awal Islam.

Disebutkan pemimpin (khalifah) Utsman radhiyallahu ‘anhu telah mengutuskan misi diplomatik dalam dunia perdagangan ke Cina sebanyak 60 orang yang pimpinan Sa’ad bin Abi Waqash. Sampai hari ini bukti sejarah itu ada di Cina dengan terdapat makam Sa’ad bin Abi Waqqash dan makam Ibnu bin Abi Waqqash serta enam orang sahabatnya di Kanton.

Kanton sebuah daerah yang kini disebut Quangzhou ketika pemerintahan Kaisar Dinasti Tang menjadi pusat perdagangan internasional. Bagi orang Arab yang membawa pemerintahan Islam kala itu menyebut Kanton dengan Kanfu, daerah ini sangat terkenal ketika itu, beda dengan hari ini Quangzhou tidak begitu terkenal lagi.

Menurut sejarah Sa’ad bin Abi Waqqash sempat menikah di Cina dan memiliki seorang putera yang dikabarkan mengikuti jejak orangtuanya dan melakukan perdagangan ke nusantara (Tanah Deli) dan memberi nama tempat perdagangannya dengan sebutan Kanton.

Sementara di Cina sendiri pada abad ke-8 itu telah dilakukan pertukaran duta Islam oleh Amirul Mukminin yang menuliskan ‘Amirul Mukminin’ dalam aksara Cina sebagai ‘Han mi momoni’. Khalifah pertama pada Dinasti Bani Abbasiyah tertulis dalam aksara Cina sebagai ‘A bo lo ba’ sedangkan Khalifah Harun dituliskan sebagai ‘A Lun’. Dalam perkembangan selanjutnya, orang-orang Islam di Cina disebut sebagai orang Hui Hui, yaitu pengikut Nabi Muhammad (Isaac Mason, dalam buku berjudul Journal of The Most China, Branch of The Royal Asiatic Society, Jilid LX halaman 42-78).

Baca Juga :  Di NTT Ribuan Relawan Mulai Siaga Bencana

Disamping bukti peninggalan sejarah tentang hubungan dagang, hubungan diplomatik Islam dengan Cina, juga banyak bangunan masjid di Cina sejak masa Islam paling awal. Masjid tertua dibangun oleh Sa’ad bin Abu Waqash, seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang merupakan utusan pertama diplomatik Islam ke Cina bernama masjid Huaiseng di Kanton yang pada itu (618-907 Masehi) Cina dipimpin Kaisar Dinasti Tang yang selanjutnya diteruskan Kaisar Kao Tsung.

Selanjutnya di Cina dibangun Masjid Zhen Jiao Si, yang dalam bahasa Indonesia artinya Agama yang Benar dibangun Dinasti Tang di propinsi Zhejiang. Lantas ada masjid Da Qingzhen Si berada di propinsi Shaanxi (dulu disebut Chang An) dan banyak lagi bangunan masjid-masjid tua di Cina.

Bila dilihat dari tahun keberadaan Sa’ad bin Abu Waqash di Kanton dan mendirikan masjid pertama di Cina tahun 618 – 907 Masehi ketika pemerintahan Kaisar Dinasti Tang dengan tahun berbagai bangsa di dunia ini datang ke Barus (nusantara) termasuk bangsa Tiongkok yang mengenal Barus dengan nama Po Law Che tahun 645 Masehi maka memiliki hubungan yang erat dengan sebutan kawasan Kanton di kota Medan (dulu Tanah Deli) yakni di jalan Haryono, MT, jalan Surabaya, jalan Ceribon, jalan Bandung dan sekitarnya.

Baca Juga :  Arya Sinulingga: Negara Untung Lepas Saham Bandara Kualanamu

Barus sebagai pintu gerbang masuknya berbagai bangsa ke Indonesia karena waktu itu tercatat sebagai pelabuhan (Bandar) Internasional maka nama Kanton sebagai pusat tempat perdagangannya di Cina waktu itu memiliki korelasi yang kuat dengan kawasan Kanton di Medan. Artinya, hubungan dagang Islam dengan Cina lantas berlanjut ke nusantara atau ke Medan di Tanah Deli.

Tanah Deli merupakan tanah harapan bagi berbagai bangsa di dunia kala itu termasuk bagi bangsa Tiongkok maka dari segala penjuru berusaha dapat datang ke tanah harapan itu. Tanah Deli harum namanya seharum daun tembakau deli waktu itu. Legendaris Cina, Laksamana The Hoo, (Bangsa Indonesia menyebutnya Cheng Hoo) yang waktu itu sudah memeluk agama Islam ingin mencari Tanah Deli untuk melakukan hubungan diplomatik. Namun, terlebih dahulu ke Aceh karena waktu itu telah berdiri kerajaan Islam di ujung pulau Sumatera.

Bukti sejarah lawatan ke Aceh, Cheng Hoo memberikan sebuah lonceng besar kepada Sultan Aceh bernama Zainul Abidin, dalam catatan Cina disebut Chainuli A Piting Ki. Lonceng besar yang diberikan Cheng Hoo sampai hari ini masih ada di Museum Aceh. Dari Aceh, Cheng Hoo ke Palembang, Semarang, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kuil Sam Phoo Kong diyakini sebagai bekas Masjid yang didirikan dan dipakai untuk beribadah oleh Cheng Hoo dan pasukannya ketika di Semarang.

Baca Juga :  Indonesia Berpeluang, Pelaku Industri Busana Muslim Dunia

Jejak perjalanan Laksamana Cheng Hoo di Surabaya kini dibangun sebuah masjid bergaya arsitektur Cina dan diberi nama Masjid Laksamana Cheng Hoo sebagai tanda penghargaan atas menjalin silaturrahmi ke negeri Nusantara. Berbagai daerah di Indonesia berdiri masjid yang dibangun tokoh-tokoh Cina yang kini keberadaan masjid itu banyak dilindungi Pemerintah sebagai salah satu cagar budaya Betawi.

Kawasan Kanton di Medan yang memiliki sejarah dengan kanton di Cina sebagai awal dari perdagangan Indonesia dengan Cina mulai terlupakan. Bukan saja nilai sejarah yang dimilikinya mulai hilang akan tetapi sebutan kawasan Kanton di Medan juga mulai ditinggalkan. Hal yang menggembirakan sejarah tokoh Cina Chong A Pie yang menjabat sebagai Kapitan Cina di Medan pada zaman penjajahan Belanda masih berkibar. Berbagai peninggalan sejarah masih terawat seperti masjid dengan arsitektur Cina di Jalan Masjid Medan.

Sebaiknya daerah-daerah yang memiliki nilai sejarah, Pemerintah kota (Pemko) Medan melestarikannya, baik dari segi nama dan situs-situs peninggalan yang ada sehingga memiliki makna yang besar bagi bangsa dan negara Indonesia. Jauh sebelum Indonesia lahir atau merdeka, ketika masih dikenal dengan nama nusantara hubungan diplomatik, hubungan dagang, hubungan kekeluargaan sudah terjalin sebagai satu kebersamaan yang indah dalam kebhinneka tunggal ika. Proklamator Indonesia Soekarno pernah berpesan, jangan melupakan sejarah atau jasmerah.@

 

Bagikan :
Scroll to Top