Jakarta | EGINDO.com – Perubahan iklim menimbulkan tantangan baru bagi bank sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan (SSK). Risiko akibat perubahan iklim memiliki potensi besar yang dapat berdampak sistemik terhadap ekonomi dan keuangan karena sifatnya yang tidak dapat dipulihkan (irreversible), multidimensional, simultan dan tidak terduga untuk berbagai sektor ekonomi. Risiko perubahan iklim terhadap ekonomi dan keuangan dapat berupa risiko fisik dan risiko transisi.
“Risiko fisik yaitu risiko kerugian akibat ancaman bencana alam (a.l. bencana banjir, gempa bumi, dll), yang berpotensi menurunkan produktivitas pertanian dan industri lainnya yang pada akhirnya dapat memicu volatilitas harga,” tulis dalam laman resmi Bank Indonesia (BI) yang dikutip EGINDO.com pada Jum’at (11/10/2024).
Dijelaskan risiko transisi yaitu risiko kerugian akibat perubahan/transisi kebijakan demi menuju ekonomi rendah karbon (a.l. kebijakan penghentian penggunaan batu bara, perubahan preferensi konsumen menuju produk ramah lingkungan, dll), dapat berdampak pada perubahan struktur ekonomi dan merupakan tantangan bagi dunia usaha. Pada gilirannya, risiko perubahan iklim dapat menimbulkan kerugian keuangan dan menurunkan kemampuan bayar perusahaan yang dapat mengganggu kualitas aset pada sistem keuangan. Untuk itu, bank sentral perlu mempertimbangkan risiko dan peluang dari perubahan iklim, mendukung upaya mitigasi dan adaptasi, termasuk transformasi menuju sistem keuangan yang resilien terhadap perubahan iklim, guna mencapai tujuan stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan dalam jangka panjang, serta pertumbuhan yang berkelanjutan.
Bank Indonesia berkomitmen untuk mendukung proses transisi yang berkeadilan (just transition) demi pencapaian target iklim nasional/Enhanced Nationally Determined Contribution (EnhancedNDC) dan senantiasa bersinergi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Bank Indonesia melalui pelaksanaan mandatnya sebagai otoritas moneter dan makroprudensial terus mengkaji dan mengeksplorasi potensi dukungan pengembangan ekonomi dan keuangan berkelanjutan ke depan sehingga dapat menjadi katalis proses transisi yang berkeadilan (just transition) untuk mencapai Enhanced-NDC Indonesia dan pertumbuhan yang berkelanjutan.
Hingga saat ini, Bank Indonesia telah mengeluarkan tiga kebijakan makroprudensial untuk mendukung pertumbuhan pembiayaan berkelanjutan sebagai berikut: Pertama, Bank Indonesia memberlakukan kebijakan Loan-to-Value (LTV) untuk kredit properti dan Uang Muka (UM) untuk kredit kendaraan bermotor (KKB) berwawasan lingkungan sejak Desember 2019. Melalui kebijakan ini, terdapat pembedaan LTV dan UM minimum untuk pembiayaan produk berwawasan lingkungan dan produk yang tidak berwawasan lingkungan. LTV untuk pembiayaan properti berwawasan lingkungan (green building) dapat diberikan hingga sebesar 100%, sedangkan UM untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai dapat ditetapkan hingga 0%, sejalan dengan asesmen dan manajemen risiko yang dilakukan bank sebagai penyalur pembiayaan. LTV dan UM yang lebih longgar berpotensi meningkatkan demand dan akses pembiayaan hijau, serta mendukung beralihnya preferensi masyarakat kepada properti dan kendaraan yang berwawasan lingkungan. Harapannya, kebijakan ini dapat mengakselerasi pertumbuhan keuangan hijau, sekaligus mendorong perekonomian tanpa mengabaikan risiko lingkungan.
Kedua, Bank Indonesia menetapkan kebijakan rasio pembiayaan inklusif makroprudensial (RPIM) melalui PBI No.24/3/PBI/2022 dimana mendukung pembiayaan inklusif dan menunjang SSK yang berkelanjutan. Bank menetapkan target RPIM secara self-assessment dan memiliki kewajiban untuk mencapai target tersebut dengan periode evaluasi di setiap akhir tahun. Kebijakan RPIM memperluas modalitas pembiayaan inklusif melalui: (1) pembiayaan langsung dan rantai pasok, (2) pembiayaan melalui lembaga jasa keuangan/badan layanan umum/badan usaha, dan (3) surat berharga pembiayaan inklusif (SBPI). Untuk mendukung pertumbuhan keuangan berkelanjutan, jenis surat berharga pada modalitas 3 diperluas dengan mencakup surat berharga untuk tujuan pembangunan atau keuangan berkelanjutan. Dengan demikian, bank dapat membeli instrumen keuangan berkelanjutan dalam rangka pemenuhan target RPIM.
Ketiga, Bank Indonesia mengimplementasikan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) berupa pelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWMaveragingkepada bank yang menyalurkan kredit kepada sektor tertentu, inklusif termasuk usaha Ultra Mikro, berwawasan lingkungan, dan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (PBI No.11 Tahun 2023). Melalui KLM, Bank Indonesia memberikan insentif dalam bentuk pelonggaran GWM kepada bank secara tiering atas pencapaian RPIM yang dapat dicapai salah satunya melalui pembelian Surat Berharga Pembiayaan Inklusif (SBPI). Kebijakan ini juga memungkinkan bank untuk mendapatkan insentif apabila bank menyalurkan kredit hijau. Penguatan kebijakan tersebut diharapkan dapat menjadi insentif bagi bank untuk mendukung proses transisi yang berkeadilan, mempertimbangkan praktik berkelanjutan termasuk dalam menilai kredit, serta meningkatkan alokasi portfolionya terhadap pembiayaan aktivitas yang berwawasan lingkungan.
Kemudian dalam upaya menjaga ketahanan stabilitas sistem keuangan, transisi menuju ekonomi hijau menjadi semakin penting di tengah risiko perubahan iklim. Sesuai dengan mandat UU P2SK untuk melakukan pengaturan dan pengembangan Keuangan Berkelanjutan, Bank Indonesia bersinergi dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), didukung oleh Kementerian/Lembaga terkait, berinovasi menghadirkan Kalkulator Hijau tahap awal (versi 1.0) yang berbasis smartphone. Dukungan pembiayaan sangat diperlukan dalam rangka transisi menuju net zero economy. Perbankan berperan penting membiayai proses transisi secara orderly, just, dan affordable. Dalam hal ini, ketersediaan data emisi yang reliable menjadi penting agar perbankan dapat mengalokasikan pembiayaan dengan tepat sasaran. Dengan demikian, inisiatif pengembangan Kalkulator Hijau diharapkan dapat menjawab kebutuhan industri dan prasyarat regulator dan pasar global.
Kalkulator Hijau dimana proses transisi menuju Net Zero Economy memerlukan orkestrasi kebijakan nasional untuk pengembangan ekosistem keuangan berkelanjutan. Keberhasilan transisi dipengaruhi oleh tersedianya akses pembiayaan yang terjangkau. Dalam hal ini, ketersediaan data keuangan hijau yang reliable menjadi penting. Untuk itu, Bank Indonesia bersinergi dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dengan dukungan Kementerian/Lembaga terkait menghadirkan Kalkulator Hijau versi 1.0 sebagai alat penghitung emisi yang dapat digunakan oleh perbankan dan pelaku usaha secara mudah, voluntary dan tanpa biaya. Berbasis standar emisi nasional, Kalkulator Hijau akan menjadi referensi nasional yang kredibel, melengkapi infrastruktur ekosistem keuangan berkelanjutan.
Kehadiran Kalkulator Hijau memiliki peran penting dalam beberapa hal. Pertama, Kalkulator Hijau dapat bermanfaat untuk memantau tingkat kehijauan aktivitas ekonomi dan tingkat keberhasilan transisi menuju ekonomi hijau. Kedua, Kalkulator Hijau memberikan kemudahan bagi perusahaan dalam pemenuhan kebutuhan pelaporan keberlanjutan (disclosure) yang diprasyaratkan oleh regulator dan pasar global. Ketiga, Kalkulator Hijau dapat membuka akses lebih luas kepada investasi dan pendanaan hijau.
Kehadiran Kalkulator Hijau diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perbankan dan pelaku usaha dalam pelaporan emisi serta memberikan panduan dalam mengembangkan strategi pengurangan emisi serta menuju ekonomi emisi nol bersih. Dengan demikian, Kalkulator Hijau dapat mendukung akselerasi ekosistem keuangan hijau.@
Bs/timEGINDO.com