Jambi | EGINDO.co – Suku Kubu atau yang dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba atau Orang Ulu adalah salah suku minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, suku ini masih dikategorikan sebagai “masyarakat terasing” yang berdiam pada beberapa kabupaten di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mayoritas mereka hidup di provinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 jiwa.
Ciri-ciri fisik suku Anak Dalam hampir sama dengan ciri-ciri fisik orang Indonesia lainnya. Tinggi badan mereka 155–170 cm, dengan kepala lonjong, mata hitam dan agak sipit, serta muka bujur telur. Mata pencahariannya meramu hasil hutan dan berburu. Senjata yang digunakan antara lain lembing kayu, tombak bermata besi,dan parang, walaupun banyak yang dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Secara garis besar di Jambi mereka hidup pada 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Anak Dalam yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra).
Suku Anak Dalam memiliki kebiasaan melangun yang berarti berpindah-pindah tempat. Melangun dilakukan karena beberapa sebab, yaitu salah satu anggota keluarga meninggal, hasil hutan di lokasi tempat tinggalnya habis, terjadinya musim buah, atau ada ancaman dari luar. Kepindahan karena ada salah satu warga yang meninggal dilakukan karena tempat itu dipercaya akan mendarat sial dan mereka tidak sampai hati melihat hasil pekerjaan dan barang-barang milik almarhum di tempat lama. Di kalangan masyarakat Anak Dalam di Air Hitam, sebelum Melangun dilakukan, mayat ditempatkan di atas beli berukuran 1×2 meter, disertai peralatan miliknya.
Asal Usul Suku Anak Dalam
Menurut tradisi lisan, suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari wilayah Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem kekeluargaan matrilineal.
Kepercayaan Suku Anak Dalam
Mayoritas suku Anak Dalam menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa keluarga suku Anak Dalam yang pindah ke Agama Kristen atau Islam. Untuk suku Anak Dalam yang tinggal menetap di daerah Sumatra Selatan terutama daerah Rawas Rupit dan Musi Lakitan, di sana banyak terdapat suku Anak Dalam yang menggantungkan hidup di persawitan, bahkan ada di antara yang memanfaatkan lahan sawit perusahaan Lonsum untuk mereka curi dan mereka jual ke lapak lapak setempat. Mereka seperti itu karena memegang prinsip dasar apa yang tumbuh di alam adalah milik mereka bersama. Namun, banyak juga orang Anak Dalam di daerah Musi dan Rawas yang menerima modernisasi termasuk penggunaan kendaraan bermotor dan senjata api rakitan (kecepek). Pakaian dan fisik mereka yang agak sedikit kumal biasanya menjadi stereotipe yang membuat orang-orang sekitar bisa membedakan suku Anak Dalam dan masyarakat sekitar.
Aturan Hidup Suku Anak Dalam
Seperti halnya pada setiap kelompok masyarakat, suku Anak Dalam memiliki aturan hidup atau hukum adat yang harus dipatuhi oleh seluruh masyarakatnya. Ada 4 aturan hidup yang harus dijalankan, antara lain :
1. Melangun
Melangun adalah sebuah kebiasaan hidup berpindah-pindah atau nomaden yang masih dijalankan oleh Suku Anak Dalam. Perpidahan dilakukan jika ada anggota keluarga yang meninggal. Mereka akan meninggalkan tempat tersebut dan mencari tempat tinggal baru, sebagai cara untuk menghilangkan duka mereka karena ditinggalkan oleh keluarga tercinta. Kegiatan Melangun akan terus dilakukan sampai rasa sedih mereka hilang.
2. Pantang Dunia Terang
Suku Anak Dalam menyebut kehidupan di luar hutan rimba sebagai ‘dunia terang’. Bagi mereka, berinteraksi dengan ‘dunia terang’ secara sistematis dibatasi dan diatur tatanan adat. Mereka percaya bahwa masyarakat dari ‘dunia terang’ merupakan pemakan manusia. Karena itulah suku ini sangat berhati-hati jika berinteraksi dengan masyarakat luar.
3. Larangan Berduaan
Aturan tentang hubungan antar lawan jenis dalam suku Anak Dalam juga cukup keras dan keduanya dilarang berduaan. Jika kedapatan melanggar, maka akan dikenai hukuman berupa kawin paksa. Namun sebelum dikawinkan, mereka harus menjalani hukuman cambuk dengan rotan terlebih dahulu. Hukum adat ini dianggap sangat memalukan bagi kedua belah pihak orangtua.
Pria dari masyarakat luar yang hendak masuk ke wilayah suku Anak Dalam pun ada aturannya. Mereka harus ditemani dengan seorang pria dari suku Anak Dalam dan tidak bisa masuk sendirian. Setelah masuk ke wilayah tempat tinggal mereka, pria masyarakat luar harus meneriakkan kalimat “ado jentan kiuna?” (ada laki-laki di sana?). Jika ada yang menjawab, barulah mereka boleh masuk ke dalam hutan rimba.
4. Mandi
Suku Anak Dalam adalah kelompok masyarakat yang sederhana dan masih menjalani kehidupan primitif. Suku Anak Dalam sangat membatasi diri mereka dalam aktivitas sehari-hari, termasuk juga saat mandi.
Proses mandi hanya dilakukan dengan menyeburkan diri ke dalam sungai dan membasuh diri hingga mereka merasa sudah bersih. Mereka tidak perlu menggunakan sabun, sampo, dan lain-lain.
(AR/dari berbagai sumber)