Mengenang Lima Tahun Meninggalnya Eka Tjipta Widjaja
Oleh: Fadmin Malau
EKA Tjipta Widjaja meninggalkan Kota Makassar, berlayar menuju Kota Surabaya. Mengutip dari Majalah Eksekutif terbitan edisi Mei 1989, Eka Tjipta Widjaja mengatakan kekuatan relasi adalah modal besar bagi dirinya. Saat bangkrut, Eka Tjipta Widjaja menghubungi relasi tentaranya di Surabaya yang telah bercokol dan sukses di perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi. Perusahaan-perusahaan itu memegang monopoli ekspor hasil bumi dan impor tekstil.
Eka Tjipta Widjaja memperoleh kepercayaan dari para relasinya untuk menjual barang-barang hasil bumi tanpa bayar dimuka. Akhirnya Eka Tjipta Widjaja dapat meraup keuntungan dengan strategi unik. Eka Tjipta Widjaja menjual barang-barang hasil bumi di bawah harga pasaran. Eka Tjipta Widjaja memberi contoh semisal harga pasaran 10 rupiah, dijualnya 9,5 rupiah. Kala itu penjual lain tidak ada yang berani jualan seperti yang dilakukannya maka pembeli berpaling atau beralih kepada Eka Tjipta Widjaja dan pembeli membayar dengan kontan.
Kemudian Eka Tjipta Widjaja membelanjakan uang kontan itu untuk bahan tekstil impor seharga 10 rupiah per meter, kemudian menjualnya 20 rupiah per meter. Dengan demikian, Eka Tjipta Widjaja rugi 10 persen pada barang-barang hasil bumi, akan tetapi meraup untung 100 persen dari jualan tekstil. “Dari uang ini baru saya bayar hasil bumi tadi yakni jagung, biji kapok, dan lain-lain. Saya mulai bisa kumpulkan untung, lalu saya pakai dagang kopra lagi,” kata Eka dalam wawancara dengan majalah Eksekutif.
Tidak heran banyak orang yang bertanya-tanya dari mana modal Eka Tjipta Widjaja membangun perusahaannya. Bermodalkan kejujuran, berkomitmen, membangun kepercayaan dengan semua orang, menciptakan relasi sehingga dipercaya, jadi modal kepercayaan lebih dominan dalam bisnis yang dilakukannya. Dari komitmen, pantang menyerah, selalu menciptakan peluang dan bukan menanti peluang datang membuat Eka Tjipta Widjaja berjaya. Terus, terus dan terus menciptakan peluang dengan membangun relasi dengan berbagai kalangan membuat banyak peluang yang datang kepada Eka Tjipta Widjaja.
Satu sikap dari Eka Tjipta Widjaja yang pandai, cerdas melihat peluang yang ada, setiap peluang yang ada dimanfaatkannya secara maksimal dan juga terus, terus dan terus menciptakan peluang dari berbagai relasi yang dibangunnya. Dari peluang-peluang yang ada itu Eka Tjipta Widjaja membangun bisnisnya meskipun terus jatuh dan bangun lagi. Jatuh lagi dan bangun lagi, pantang menyerah dan akhirnya kini berhasil membangun perusahaan besar.
Eka Tjipta Widjaja mengakui dirinya selalu jatuh bangun dan peluang yang diperolehnya satu anugrah yang harus dimanfaatkannya semaksimal mungkin agar dapat membangun bisnis yang kuat dan kokoh. Akhirnya uang yang dimiliki Eka Tjipta Widjaja kala itu dijadikan sebagai modal untuk mendirikan CV Sinarmas pada 1960-an yang kini menjadi perusahaan raksasa di Indonesia.
Mengutip tulisan Ahmad D. Habir dalam “Konglomerat: Antara Pasar dan Keluarga” yang termuat dalam Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi menulis banyak peluang pada zaman Orde Baru itu berkaitan dengan diterimanya undang-undang liberal perihal investasi asing, dan dalam negeri, masing-masing pada 1967 dan 1968. Dalam tulisan Ahmad D. Habir dalam “Konglomerat: Antara Pasar dan Keluarga” termuat dalam Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi menulis Eka Tjipta Widjaja menangkap peluang itu dengan menanam investasi di bidang minyak kopra lagi pada 1969 melalui bendera perusahaan Bimoli atau Bitung Manado Oil dengan nilai investasi awalnya 800 juta rupiah. (BERSAMBUNG besok bagian kesebelas)
***