Melestarikan Lahan Gambut Indonesia, Capai Ambisi Net Zero

Forestry and Other Land Use (FOLU) NET SINK 2030
Forestry and Other Land Use (FOLU) NET SINK 2030

Jakarta | EGINDO.co –  Melestarikan dan restorasi lahan gambut adalah pilar utama Forestry and Other Land Use (FOLU) NET SINK 2030, fitur utama dari upaya pemerintah Indonesia melawan perubahan iklim.

Tujuannya adalah untuk mencapai skenario dimana emisi gas rumah kaca ditargetkan berada pada atau lebih tinggi dari emisi di sektor FOLU pada tahun 2030, dan pencapaian FOLU NET SINK 2030 Indonesia diperkirakan dapat memberikan kontribusi hingga 60% dari negara. target emisi nol bersih pada tahun 2060.

Ronald Vernimmen, Direktur Data untuk Keberlanjutan berbagi wawasannya dalam percakapan dengan TEDx Glasgow, di mana ia menyoroti pentingnya lahan gambut tropis dalam mencapai ambisi nol bersih global. Percakapan ini sebagaimana dilansir dalam laman resmi APP Sinarmas Jum’at (1/7/2022) yang dikutip EGINDO.co Sabtu (2/7/2022).

Disebutkan kabar baik yang dia bagikan adalah masih ada sejumlah besar lahan gambut yang utuh, artinya belum ada pembangunan di atasnya dan sebagian besar masih berhutan. Namun dia mengingatkan perlunya membuat penyangga di sekitar lahan gambut yang utuh, dan memulihkan lahan gambut tropis yang terdegradasi adalah langkah penting dalam mengurangi emisi karbon dari area yang terdegradasi ini meskipun dia menekankan bahwa emisi karbon akan berlanjut selama bertahun-tahun, mungkin beberapa dekade, setelah restorasi.

Menurut Ron, “Kunci pengelolaan lahan gambut yang efektif adalah memetakannya dan memperoleh data untuk membantu perencanaan konservasi & restorasi karena ada puluhan ribu kilometer persegi lahan. Teknologi dapat membuka kunci informasi dan LiDAR (Light Detection and Ranging) adalah salah satu teknologi yang saat ini digunakan.” Dipasang di pesawat atau helikopter, menggunakan sinar laser yang ‘ditembakkan’ dari sensor ke permukaan (Bumi) dengan cahaya yang dipantulkan kembali dari permukaan dan waktu yang dibutuhkan sinar laser untuk kembali ke sensor diterjemahkan dalam jarak antara sensor dan permukaan yang dipantulkan (tanah atau vegetasi).

LiDAR, tambah Ron, tidak hanya dapat mengukur elevasi medan dan struktur vegetasi secara akurat, tetapi juga ketinggian air di saluran drainase. Data tersebut memberikan dasar untuk pengelolaan dan restorasi lahan gambut. Perkembangan besar lainnya dalam restorasi lahan gambut adalah Program Penelitian Lahan Gambut Tropis Terpadu (INTPREP) yang diselenggarakan di Institut Penelitian Lingkungan Universitas Nasional Singapura (NERI). Program ini berusaha untuk menentukan apa yang berhasil dengan kondisi lingkungan dan akan membantu menghasilkan pengetahuan dan memberikan panduan restorasi.

Mengenai peran yang bisa dimainkan oleh pihak swasta dalam pengelolaan lahan gambut, saran Ron adalah agar mereka tidak menunggu peraturan pemerintah tetapi untuk “mulai menggelindingkan bola” dengan memberikan beberapa contoh positif seperti proyek yang sedang dikerjakannya. “Satu keuntungan yang dimiliki sektor swasta adalah biasanya memiliki visi jangka panjang dengan strategi jangka panjang yang dibutuhkan dalam pengelolaan lahan gambut,” katanya.

Dalam urutan prioritasnya, Ron menekankan pada pelestarian lahan gambut yang utuh karena dengan 95% hutan yang tersisa di daerah dataran rendah ditutupi oleh lahan gambut, melestarikan daerah tersebut akan membantu melestarikan cadangan karbon yang sangat besar. Prioritas keduanya adalah merestorasi sebanyak mungkin lahan gambut yang telah mengalami pengembangan, terutama yang berbatasan dengan lahan gambut yang dikonservasi.

Prioritas ketiga adalah memulihkan apa yang tersisa. Pada takeaway kuncinya, Ron berkata, “Konservasi harus diprioritaskan sebelum restorasi”.

Kata-kata bijak yang perlu diperhatikan dari orang dalam lahan gambut dan orang yang ahli dan dihormati di bidang penelitian lahan gambut.@

App/TimEGINDO.co

Scroll to Top