Media Sosial : Lawan Berita Palsu

Shutterstock.com Iluistrasi cek fakta
Shutterstock.com Iluistrasi cek fakta

Jakarta | EGINDO.co – Peredaran hoaks atau berita palsu, informasi salah, keliru, atau bahkan bohong, sangat banyak tersebar di tengah masyarakat dunia, termasuk Amerika Serikat.

Informasi semacam itu tidak muncul melalui media penyiaran dan media massa yang memang memiliki kredibilitas untuk menyampaikan berita.

Hoaks dan kabar bohong banyak muncul di media-media arus bawah, seperti media sosial, blog, aplikasi percakapan atau chat messenger, termasuk kanal berbagi video raksasa Google yaitu YouTube.

Saat ini, bukan hal mudah bagi masyarakat awam untuk membedakan mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah.

Keduanya telah melebur dalam perputaran arus informasi yang sama. Cepatnya teknologi bisa menyebarluaskan informasi tersebut dan menjangkau semakin banyak khalayak dengan sangat mudah.

Tidak hanya menipu, informasi-informasi salah atau bohong juga bisa menimbulkan kekacauan, perpecahan, dan perselisihan lain dalam masyarakat.

Misalnya, informasi pasca-ledakan bom saat pelaksanaan Ibadah Paskah di gereja Sri Lanka, Minggu (21/4/2019) yang justru menciptakan ketakutan dan kekacauan baru di masyarakat Sri Lanka.

Untuk menghindari  meluasnya persebaran hoaks, Pemerintah Sri Lanka sementara waktu menonaktifkan layanan Facebook dan beberapa platform sosial di negaranya.

Begitu banyaknya informasi hoaks yang dibuat dan tersebar, berbagai lembaga maupun perusahaan media saat ini bersama-sama memeranginya dengan menghadirkan  tenaga cek fakta atau fact checker.

Sejumlah media bahkan bergabung dalam International Fact-Checking Network (IFCN) sebagai upaya untuk memerangi hoaks secara global.

Baca Juga :  Pertamina Akan Produksi Avtur Campuran CPO 5%

Pergeseran rasa tanggung jawab

Internet, berdasarkan  hukum Amerika Serikat tahun 1966, tidak bisa disebut sebagai sebuah penerbit. Semua konten yang terdapat di internet, secara hukum bukan menjadi tanggung jawab para penyedia internet.

Inilah yang menjadi pangkal kebebasan berekspresi semua orang di internet, hingga mengabaikan konsekuensi di balik ekspresi, ungkapan, kalimat, atau konten yang mereka ciptakan sehari-hari.

Akibatnya, berita bohong banyak bermunculan, seolah-olah tidak ada satu pihak pun yang bisa menghentikan laju dan penyebarannya.

Meskipun begitu, beberapa perusahaan media, seperti Twitter, Facebook, dan YouTube, disebut-sebut memiliki tanggung jawab etik untuk  mengontrol aktivitas penggunanya agar tidak menyebarkan informasi-informasi salah dan bohong yang diatur menjadi pedoman komunitas.

Terlebih, jika informasi itu disampaikan oleh pihak yang memiliki pengaruh besar dan ditujukan untuk sekelompok orang tertentu.

Selama ini, banyak sangkaan kepada media sosial, bahwa batasan konten yang mereka ciptakan, semata-mata untuk mempermudah pengawasan dan membasmi peredaran hoaks di platformnya.

 

Menemukan kata kunci

Shutterstock.com Ilustrasi penelitian kata kunci

 

Seorang polisi Demokrat dari Texas, Sylvia Garcia bertanya kepada perwakilan Facebook dan Google tentang kebijakan yang mereka gunakan untuk membinasakan hoaks sedari dini.

Apa cara yang digunakan untuk menemukan kata kunci, frasa, atau hal-hal yang banyak dibicarakan pengguna di seluruh dunia, sehingga dapat lebih responsif dan proaktif dalam memblokir kata kunci-kata tersebut.

Baca Juga :  ​Jasa Marga Sarankan Pemudik Isi E-Toll Rp500-800 Ribu

Menurut seorang reporter di Jaringan IFCN di Institut Poynter, Daniel Funke, Facebook mengombinasikan kerja teknologi dan manusia untuk menghentikan hoaks sampai ke sasaran yang menjadi targetnya.

Melalui kerja sama dengan berbagai lembaga dan perusahaan media, ribuan orang di seluruh dunia telah dipekerjakan sebagai fact checker untuk mengatasi masalah ini.

Funke menyebut Facebook menaruh peran dan tanggung jawab atas persebaran konten hoaks di platform-nya.

Sumber informasi salah

Twitter kerap disebut sebagai asal mula hoaks berasal.  Hoaks ini diciptakan oleh bot atau akun otomatis yang khsusus dibuat untuk menyebarkan kabar bohong. Setelah dibuat di Twitter , hoaks akan tersebar dengan cepat di Facebook.

Di sisi lain, Funke menyebut, YouTube-lah yang saat ini menjadi pabrik terbesar hoaks, karena banyaknya konten yang diunggah di dalamnya. Karena masyarakat cenderung lebih akan percaya terhadap informasi yang berbentuk video dibandingkan hanya tulisan atau suara saja.

Kemudian platform lainnya yang juga menjadi tempat hoaks tersebar adalah Instagram dan WhatsApp yang dimiliki Facebook.

Proses cek fakta Facebook

Salah satu organisasi cek fakta yang bekerja sama dengan Facebook adalah FactCheck.org. Di sana, terdapat beragam informasi hoaks dan informasi keliru yang tersebar di Facebook atau beragam media lainnya.

Baca Juga :  Dirlantas PMJ: Petugas Berhak Tegur Pengendara Yang Merokok

Setelah itu, reporter yang bekerja di dalamnya sebagai fact-checker akan mengkroscek satu per satu informasi itu dan melaporkan hasilnya, apakah informasi dalam sebuah konten yang tersebar benar atau salah.

Setelah dicek, informasi itu akan kembali di Facebook dengan disertai keterangan hasil pengecekan yang dilakukan oleh reporter.

Direktur FactCheck.org Eugene Kiely, menganggap Facebook kini bisa membuat basis data pelaku penyebar hoaks dan bertindak untuk memeranginya.

Facebook akan membuat unggahan dari akun-akun yang terdeteksi kerap menyebarkan informasi bohong, lebih sulit untuk ditemukan. Atau dengan kata lain, akun-akun tersebut akan “ditenggelamkan”.

Kiely mengatakan, dengan kebijakan itu, akun milik pihak atau kelompok yang berkepentingan dengan penyebaran hoaks, akan mengalami penurunan pendapatan. Ya, itu karena menurunnya jumlah klik dan iklan di unggahan mereka.

Ke depannya, diperkirakan teknologi baru cek fakta akan segera dioperasikan. Teknologi itu memiliki efektivitas, ketepatan, dan kecepatan yang menyamai kecepatan persebaran hoaks itu sendiri.

Namun demikian, hal itu tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dari sisi usaha, hal ini membuat perusahaan mengalami penurunan keuntungan dalam menjalankan bisnisnya.

 

 

 

Editor : Khairil Jabar

Sumber : Kompas

 

 

.

Bagikan :
Scroll to Top