Jakarta | EGINDO.co – Kontingen Indonesia telah mengoleksi sebanyak 32 medali sejak pertama kali ikut serta dalam ajang olahraga terbesar sejagad Olimpiade. Meski sudah berpartisipasi pada edisi 1952 di Helsinki, keran medali untuk Indonesia baru terbuka ketika tampil di Olimpiade Seoul 1988.
Adalah Lilis Handayani, Kusuma Wardhani, dan Nurfitriyana yang berhasil mengukir catatan baru untuk olahraga Indonesia. Mereka bukan saja telah mengangkat nama Indonesia dan menghindarkan kontingen Indonesia dari cuma sekadar menggigit jari di Seoul. Mereka juga telah mengukir sejarah. Untuk pertama kalinya, sejak Indonesia mengikuti Olimpiade di Helsinki 1952, kontigen Indonesia memenangkan medali. Perak lagi.
Ketika itu, peringkat Indonesia berada di atas Filipina dan Thailand yang merebut satu medali perunggu. Indonesia juga lebih baik dibanding India, yang tak memperoleh satu medali pun di Seoul.
Indonesia mengikuti Olimpiade 1988 Seoul membawa 29 atlet dari 11 cabang olahraga. Pada masa itu olahraga tenis, atletik dan tinju sedang digemari masyarakat Indonesia. Mardi Lestari, Yayuk Basuki, Suharyadi, Donald Wailan Walalangi, Adrianus Taroreh merupakan nama-nama atlet terkenal yang mengikuti Olimpiade 1988.
Sedangkan Nurfitriyana Saiman Lantang, Lilies Handayani dan Kusuma Wardhani sama sekali tidak terkenal sebelum meraih medali perak olimpiade. Malahan pelatihnya Donald Pandiangan yang namanya lebih beken. Donald Pandiangan juga pernah ikut Olimpiade tahun 1976 dan 1984.
Dua pekan sebelum trio srikandi meraih medali perak, Indonesia nyaris mendapatkan medali olimpiade dari cabang angkat besi. Atlet angkat besi putra Dirja Wihardja menempati peringkat 4 kelas 56 kilogram.
Ketiga atlet panahan yang kemudian akrab disapa tiga srikandi hanya bisa menangis, mencium busur, anak panah, dan kemudian berangkulan, begitu panitia mengumumkan regu Indonesia keluar sebagai juara kedua dalam nomor beregu putri. Kedudukan itu dicapai setelah mereka berhasil menundukkan regu tangguh AS dalam pertandingan ulangan atau play off. Saingan berat dalam cabang panahan ini datang dari kubu AS, Korea Selatan, dan Uni Soviet.
Namun, di babak final tiga pemanah putri Indonesia yang berada di lajur keempat arena pertandingan tampaknya tidak kehilangan nyali. Detik-detik ketegangan dimulai pukul 14.30. Lilis, Kusuma, dan Yana, panggilan akrab Nurfitriyana, masing-masing diapit para pemanah Inggris dan trio Soviet. Dari busur panah mereka mesti ditembakkan masing-masing sembilan anak panah untuk tiap nomor jarak. Lilis berdiri di tengah. Ia diapit Yana di sebelah kiri dan Kusuma di kanannya. Perjuangan pertama pada jarak 30 meter.
Lilis mengangkat tangan kirinya lurus setinggi bahu. Dengan konsentrasi penuh, tali busur ditarik sampai menyentuh mulut. Sementara itu, mata menatap tajam ke lingkaran pusat. Anak panah pun segera melesat mencapai sasarannya. Clap. Di jarak ini para srikandi Indonesia membuat kejutan. Mengungguli saingan-saingannya dengan angka 259 dari kemungkinan 270.
Sedangkan Korea berada di urutan kedua dengan selisih 1 angka dan AS di tempat ketiga dengan angka 253. Melihat hasil yang dicapai itu, ketiganya yakin bahwa mereka bisa menyumbangkan medali pertama bagi Indonesia di arena olimpiade. Pada jarak 50 meter, Lilis yang berambut ikal itu kembali mengangkat busurnya. Di jarak ini mereka masih bisa bertahan di urutan kedua dengan meraih angka 237, sama seperti AS.
Sedangkan Korea Selatan menyodok ke urutan pertama setelah menyabet angka 240. Pada jarak 60 dan 70 meter, para pemanah Korea makin menunjukkan kelasnya. Tampaknya, sulit mengejar mereka yang memperoleh 241. Tapi posisi kedua masih bisa dipertahankan oleh trio srikandi Indonesia setelah mampu mengumpulkan angka 235. Satu angka di atas regu AS. Secara total dari 3 jarak, Korea telah mengumpulkan angka 739, Indonesia 731, sementara Amerika 724.
Tiga besar ini seperti menggantungkan harapan pada 27 anak panah penghabisan. Yaitu pada nomor jarak 70 meter. Clap, clap, clap. Sembilan anak panah pertama dilesatkan. Korea 821, Indonesia 810, AS 803. Lalu sembilan lagi. Nilai Korea 901, Indonesia 879, dan AS 873. Dan Lilis mendesingkan tiga panah lagi, begitu juga Yana dan Kusuma.
Papan skor menunjukkan: Korea Selatan berada di tempat tertinggi. Nilainya 982. Menyusul tempat keempat sampai kedelapan. Catatan tempat kedua dan ketiga masih kosong. Ternyata, kemudian diumumkan bahwa regu Indonesia dan Amerika mendapat nilai sama, 952. Kedua regu harus bertanding ulang dengan 9 anak panah, untuk menentukan juara kedua dan ketiga.
Ketegangan semakin bersimaharajalela. Wiek Djatmika, Ketua Kontingen Indonesia, sudah pasrah. “Perunggu pun kita terima, karena itu pun sudah sejarah bagi Indonesia,” kata Wiek.
Ternyata, bukan perunggu. Satu anak panah Amerika lepas sasaran. Sehingga, Indonesia memperoleh nilai 72, sementara AS ada 5 angka di bawahnya. Lalu mengalirlah air mata kebahagiaan itu. Indonesia meraih medali perak. Untuk pertama kalinya Sang Saka Merah Putih dikerek di Olimpiade setelah pengalungan medali. Regu pemanah lain negara juga ikut menyalami dan mengucapkan selamat.
Trio jagoan panahan itu dipersiapkan sejak akhir 1987, untuk menghadapi Kejuaraan Panahan Asia, Januari 1988. Setelah itu digenjot lagi enam jam setiap hari, kecuali Minggu. Pengalaman tanding diperoleh dari pertandingan di Eropa selama satu bulan lebih. Pada SEA Games XIV, 1987, Kusuma Wardhani, yang lahir di Ujungpandang itu, sudah menunjukkan kebolehannya.
Ia berhasil mempertajam rekor Olimpiade. Semula hanya Kusuma yang akan dikirim ke Seoul. “Tetapi kami menjelaskan bahwa peluang Indonesia justru terletak pada nomor beregu. Semua itu terbukti sekarang,” ujar Udi Harsono, Sekjen Perpani. Sedangkan Nurfitriyana, pada SEA Games XIV itu, menggaet 3 emas dan 3 perak. Inilah yang menghentikan keputusasaannya pada olahraga panahan itu. “Waktu latihan untuk SEA Games itu, saya sudah mikir-mikir mau berhenti setelah SEA Games itu,” ujar Nurfitriyana.
Sumber : Tempo.com/SL