Oleh: Fadmin Malau

KETIKA bupati Tapanuli Tengah (Tapteng), Bonaran Situmeang SH MHum menjabat dengan semangat menggelora merancang program pariwisata dengan slogan “Horas Tapteng Minapolitan, Negeri Wisata Sejuta Pesona”.
Slogan menggema ketika Bonaran Situmeang menjadi bupati Tapteng. Slogan yang baik itu kini hilang dan nyaris tak pernah terdengar lagi. Ketika slogan itu menggelora pada saat Bonaran Situmeang menjadi bupati Tapteng, ketika itu pula infrastruktur di Tapteng masih memprihatinkan sehingga daerah Tapteng dengan puluhan pulau dan kawasan wisata agama dan sejarah peradaban bangsa-bangsa belum maksimal dapat dinikmati para wisatawan.
Slogan “Horas Tapteng Minapolitan, Negeri Wisata Sejuta Pesona” cukup bagus karena Tapanuli Tengah merupakan alternatif baru bagi dunia pariwisata di Sumatera Utara dan Indonesia sebab objek wisata yang ada di Tapteng tidak dimiliki daerah lain di Indonesia. Tapanuli Tengah memiliki potensi alam yang terpendam, memiliki kekayaan laut, keragaman agama, budaya dan sejarah peradaban berbagai bangsa di dunia.
Tapteng kabupaten yang berada di kawasan pantai Barat Pulau Sumatera dengan sedikitnya ada 31 pulau seperti Pulau Mursala yang berada di Kecamatan Tapian Nauli terletak antara Pulau Sumatera. Pulau memiliki sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia dan agama terdapat air terjun dengan ketinggian sekira 35 meter yang airnya langsung jatuh ke laut sehingga air laut di sekitarnya menjadi tawar atau tidak asin. Perairan di sekitar Mursala airnya sangat jernih dengan terumbu karang yang khas sehingga cocok menjadi lokasi diving atau berselam.
Air terjun di Pulau Mursala memiliki keunikan karena tidak pernah kering meskipun sedang kemarau dan air terjunnya tiba-tiba muncul dari bukit yang ada di Pulau Mursala, beda dengan air terjun lainnya. Lagi terhalang infrastruktur sebab belum ada dermaga, pada hal ribuan tahun lalu Pulau Mursala telah disinggahi berbagai kapal dari Timur Tengah, Eropah dan benua lainnya di dunia, buktinya dunia internasional mengenal Pulau Mursala.
Berbagai pulau lainnya dengan alam dan keunikan tersendiri ada di Tapteng seperti Pulau Putri, Pulau Bakkar dan Pulau Ungge dan lainnya serta puluhan pantai seperti Pantai Bosur di Pandan, Pantai Kalangan di Kalangan, Pantai Sitiris-tiris di Kecamatan Andam Dewi, Pantai Kade Tiga di Kecamatan Barus dan berbagai pantai lainnya di Tapanuli Tengah.

Jumlah lokasi wisata bahari di Tapteng sangat banyak akan tetapi belum dikelola dengan baik oleh Pemkab Tapteng. Bukan hanya lokasi wisata bahari akan tetapi Tapanuli Tengah memiliki daerah wisata agama cukup banyak, mulai dari Agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha dengan adanya berbagai situs sejarah agama di Tapanuli Tengah. Kota tua Barus sebagai daerah di Tapanuli Tengah yang menyimpan banyak situs-situs sejarah agama di dunia.
Sejarah masuknya Agama Islam ke Indonesia ada makam Syekh Machmud di Papan Tinggi Desa Penanggahan, Kecamatan Barus, ada makam Syekh Rukunuddin di Mahligai dan berbagai makam lain yang kabarnya tahun ini akan disusun design makam-makam bersejarah itu oleh Pemkab Tapteng.
Padahal makam-makam tua itu sebagai situs sejarah masuknya agama-agama ke Indonesia (Nusantara) tidak dimiliki daerah lain di Indonesia maka Tapteng bisa terintegrasi menjadi daerah tujuan wisata rohani di Indonesia. Pembangunan kembali dan pengembangan makam-makam tua yang ada di Barus bisa menguatkan penemuan sejarah melalui peninggalan situs cagar budaya bahwa Barus sekitarnya adalah tempat pertama kali masuknya Agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha ke Indonesia.
Pemkab Tapteng juga harus melestarikan pohon Kapur Barus yang nyaris punah untuk sebagai pertanda kejayaan Barus tempo dulu, sebab berbagai bangsa datang ke Barus karena adanya kapur dan rempah-rempah. Disamping semuanya itu harus ada sarana dan prasarana memudahkan para wisatawan berkunjung ke Tapteng seperti Bandar Udara (Bandara) yang memiliki rute penerbangan Jakarta – Pinang Sori – Kualanamu dan sebaliknya. Sarana lain yakni jalan yang baik, tidak rusak seperti sekarang ini, penginapan atau hotel yang baik.
Sejarah telah mencatat bahwa Barus dikenal sebagai pelabuhan masuknya bangsa asing ke Indonesia, mulai dari Marcopolo, pengelana dari Eropa datang ke Indonesia melalui pantai barat Sumatera di Barus. Para pedagang dari berbagai penjuru dunia singgah ke pelabuhan Barus untuk melakukan perdagangan, para saudagar Arab datang ke Barus untuk mencari Kapur Barus yang harganya sangat mahal. Seiring dengan datangnya para saudagar Arab itu, agama Islam masuk ke Indonesia (Nusantara) melalui Barus.
Barus sebagai kota tua dibuktikan dari pintu masuknya berbagai bangsa ke Nusantara (Indonesia). Bukti nyata lagi banyak artefak (keramik, perak, batu bertulis) peninggalan masa lalu terkandung di bumi Barus. Berbagai penelitian telah dilakukan kalangan arkeolog nasional maupun internasional. Barus atau Lobu Tua sebagai pelabuhan niaga samudera diperkirakan sudah ada sejak 3.000 tahun Sebelum Masehi (SM). Ada juga yang memerkirakan lebih dari 5.000 tahun SM. Bukti yang memperkuat bahwa bahan pengawet berbagai mummy Fir’aun Mesir Kuno menggunakan kamper atau Kapur Barus. Getah kayu yang paling baik kualitasnya waktu itu ada di Barus.
Seorang pengembara Yunani Claudius Ptolomeus mencatat perjalanannya hingga ke Barousai, sekira tahun 70 Masehi. Pencatat sejarah Yunani itu menyebutkan bahwa selain pedagang Yunani, pedagang Venesia, India, Arab dan Tiongkok juga lalu lalang ke Barus untuk mendapatkan rempah-rempah. Pada arsip tua India “Kathasaritsagara” sekira tahun 600 Masehi, mencatat perjalanan seorang Brahmana mencari anaknya hingga ke Barus. Brahmana itu mengunjungi Keladvipa (Pulau Kelapa diduga Sumatera) dengan rute Ketaha (Kedah), menyusuri pantai Barat hingga ke Karpuradvipa (Barus).
Bangsa Tiongkok sejak lama mengenal Barus sebagai Po Law Che. Misalnya, dari catatan Hsuan Tsang dari era Dinasti Tang tahun 645 M dan pengembara I Tcing, tahun 685 M. Dapat dipastikan agama Islam masuk ke Nusantara pertama kali ke Barus karena para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 Masehi atau sekira tahun 1 Hijriah dan menyebarkan Agama Islam dan mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri.
Tim Arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus telah menemukan bahwa sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa di dunia seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu dan sebagainya.
Tapanuli Tengah menjadi daerah wisata agama dan sejarah peradapan sangat dinantikan karena Tapanuli Tengah memiliki potensi besar untuk itu. Dikatakan dinantikan sebab faktor pendukung yakni sarana dan prasarana harus terlebih dahulu ada. Bandara di Tapteng harus akses langsung dengan Cengkareng atau Jakarta, akses langsung dengan Kualanamu atau Medan.
Barus pintu gerbang masuknya Agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha ke Indonesia atau Nusantara. Barus juga kota tertua di Indonesia karena menjadi pintu masuk bangsa Arab, India, Tamil, Yunani, Syria, Armenia, China dan lainnya pada awal abad Masehi. Bukti-bukti peninggalan sejarah seperti nisan-nisan tua tersebar di Barus sebagai bukti petunjuk sejarah yang sampai kini masih ada. Sangat tepat sebagai daerah tujuan wisata sejarah dan peradapan bangsa-bangsa di dunia. Petunjuk Agama Islam sudah ada di Barus seperti adanya makam Syeh Machmudsyah, makam Syeh Rukunuddin dan lainnya berjumlah 44 makam syekh yang disebut dengan Aulia 44.
Dari semua makam-makan tua yang ada di Barus, makam Papan Tinggi di Desa Bukkit berada 250 meter dari permukaan laut dan harus menaiki 710 anak tangga menuju ke makam itu. Berkunjung ke makam ini membutuhkan tenaga ekstra karena tidak saja menaiki anak tangga tetapi harus menyelusuri perkampungan dan perbukitan. Kelelahan akan hilang bila telah sampai di atas bukit, melihat panorama alam yang indah. Daerah wisata agama di Barus tidak cukup hanya sehari mengunjunginya sebab disamping jumlahnya yang banyak juga pada setiap lokasi daerah wisata agama ini terdapat pemandangan alam pegunungan, pantai dan sungai. Berhari-hari bila berwisata religius ke kota tua Barus dan itu menyenangkan sebab tidak akan ditemukan pada daerah lain selain di Barus Kabupaten Tapanuli Tengah.@
***
Penulis adalah Pemimpin redaksi EGINDO.com dan Ketua Yayasan Badan Warisan Sumatra