Jakarta | EGINDO.com – Mahkamah Konstitusi (MK) pada 14 Agustus 2025 mendatang menentukakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Pasalnya, Mahkamah Konstitusi dijadwalkan membacakan putusan gugatan Koalisi Masyarakat Sipil terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Jaya Darmawan menyebut putusan MK akan menentukan arah kebijakan tarif PPN ke depan, apakah tetap naik atau justru diturunkan. Namun, Celios mendorong penurunan tarif PPN menjadi 8% yang dapat memberikan dampak positif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), output ekonomi, dan pendapatan masyarakat. Salah satu poin yang dipersoalkan adalah ketentuan yang membuka peluang kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN).
“Kita mendorong ada baiknya sebenarnya tarif PPN itu diturunkan jadi 8%. Ini coba nanti kita kawal bersama putusan MK tanggal 14 Agustus,” kata Jaya dalam acara Diskusi Publik di Jakarta, Selasa (12/8/2025) kemarin.
Dinilainya, kekhawatiran pemerintah bahwa penerimaan negara bisa berkurang hingga Rp70 triliun jika PPN tidak dinaikkan, tidak sepenuhnya tepat. Dalam hitungan Celios, skenario penurunan tarif PPN hingga 8% diproyeksikan dapat meningkatkan konsumsi masyarakat sebesar 0,74% dan mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp 133,65 triliun. Dampak pengganda pada akhirnya turut meningkatkan kontribusi terhadap penerimaan pajak bersih hingga mencapai Rp 1 triliun per tahun.
Sementara itu informasi tentang gugatan ke MK, Permohonan uji materi ini berfokus pada ketentuan dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b, ayat (3) huruf a, g, j, serta Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4) UU HPP. Para Pemohon menilai ketentuan tersebut berdampak langsung pada penghapusan barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, dan angkutan umum dari daftar barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Selain itu, UU HPP juga menetapkan ketentuan baru mengenai tarif PPN dan mekanisme perubahannya. Para Pemohon berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 4A ayat (2) UU HPP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Kenaikan tarif PPN hingga 12%, menurut para Pemohon, telah memicu lonjakan harga barang kebutuhan pokok, di tengah kondisi pendapatan masyarakat yang stagnan atau bahkan menurun.
Sedangkan melalui petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, untuk Pasal 7 ayat (3) UU HPP, para Pemohon meminta Mahkamah agar menetapkannya sebagai ketentuan konstitusional bersyarat, sepanjang penetapan tarif PPN didasarkan pada indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan yang jelas. Kemudian untuk Pasal 7 ayat (4), para Pemohon meminta agar perubahan tarif PPN hanya dapat dilakukan melalui undang-undang, bukan peraturan pemerintah.@
Bs/timEGINDO.com