Jakarta|EGINDO.co Tulisan ini menyoroti masalah eksekusi putusan pengadilan perdata di Indonesia yang sering kali tidak efektif karena ketiadaan aset dari pihak yang kalah. Fae Sarumaha, S.H., M.H., CLA., CTL, menjelaskan bahwa fenomena “menang di atas kertas” terjadi ketika pihak yang kalah tidak memiliki aset untuk dieksekusi, sehingga putusan pengadilan kehilangan makna.
Dalam sistem peradilan perdata, putusan pengadilan seharusnya menjadi jalan keluar bagi pihak-pihak yang bersengketa. Namun, realitas yang ada menunjukkan bahwa banyak putusan tak dapat dieksekusi karena ketiadaan aset dari pihak yang kalah. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas dan keadilan dalam sistem hukum di negara kita.
Secara ideal, putusan pengadilan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa dan menegakkan keadilan. Namun, jika pihak yang kalah tidak memiliki aset, putusan tersebut menjadi tidak lebih dari kemenangan semu—sering diungkapkan dengan istilah “menang di atas kertas.” Ketiadaan aset menyebabkan putusan pengadilan hanya menjadi dokumen yang tak berarti, di mana pihak yang menang tak memperoleh haknya, sementara pihak yang kalah lolos dari konsekuensi. Ini tak hanya menimbulkan ketidakadilan, tetapi juga menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Untuk mengatasi persoalan ini, beberapa langkah dapat diambil sebagai solusi yang potensial:
1. Verifikasi Aset Sebelum Proses Peradilan
Sebelum proses peradilan dimulai, perlu dilakukan verifikasi terhadap aset pihak tergugat guna memastikan eksekusi putusan dapat dilakukan. Ini bisa dilakukan melalui investigasi yang melibatkan pihak ketiga atau jasa profesional. Meski upaya ini cukup kompleks, negara seharusnya memiliki badan atau lembaga sentral yang mengelola data aset individu dan korporasi, yang dapat diakses untuk kepentingan hukum, seperti permohonan sita jaminan dan eksekusi.
2. Penerapan Sanksi bagi Ketidakpatuhan
Sanksi perlu diterapkan terhadap pihak yang tidak melaksanakan putusan pengadilan, meski alasan utamanya adalah ketiadaan aset. Ketidakpatuhan semacam ini, meski bukan kejahatan dalam arti pidana, tetap merupakan bentuk pelanggaran hukum yang bisa dikenai sanksi. Di negara-negara maju seperti Singapura, ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan dipandang sebagai pelanggaran hukum serius yang dapat berujung pada denda atau bahkan hukuman penjara.
Lemahnya daya eksekusi putusan peradilan perdata akibat ketiadaan aset menyoroti urgensi reformasi dalam sistem hukum kita. Dengan menerapkan langkah-langkah yang tepat, diharapkan keadilan dapat ditegakkan dengan lebih baik dan putusan pengadilan mampu berfungsi secara efektif, memberikan makna nyata bagi para pencari keadilan. (Sn)
*Penulis adalah pemerhati masalah hukum dan praktisi hukum berdomisili di Jakarta*