Jakarta, | EGINDO.co – Idul Adha atau Hari Raya Kurban merupakan ritual tahunan umat Islam yang apabila dikelola dengan baik dapat memberi pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat di pedesaan.
Potensi ekonomi hewan ternak ini sangat luas seperti hasil jual beli dagingnya. Dari segi efek pengganda terdapat beberapa sektor yang juga terdampak seperti dari sektor distribusi, tenaga kerja dan unsur pendukung peternakan lain yang terkait.
Kemudian terdapat juga industri turunan peternakan yang dapat dioptimalkan seperti olahan kulit, kotoran hewan untuk pupuk kompos dan lainnya.
Dalam sebuah studi, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) serta Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia (PEBS UI) menghitung potensi perputaran uang dari perdagangan hewan tiap tahun mencapai Rp69,9 triliun. Sementara nilai kurban umat Islam diperkirakan sebesar Rp10,143 triliun.
Namun, angka sebesar itu lebih sering berkutat di perkotaan. Dengan kata lain, nilai perputaran uang itu belum terdistribusi secara merata ke desa meski berada dalam rantai produksi dan distribusi peternakan.
Banyak masyarakat pedesaan yang belum memahami pengelolaan rapi manajemen peternakan hewan kurban, apalagi yang sifatnya profesional. Selain itu, masyarakat pedesaan menjadikan kegiatan ternak hewan sebagai sampingan sehingga menjadi kendala tersendiri.
Anggota Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Emmy Hamidiyah mengatakan desa harus turut mendapatkan porsi yang optimal dari perputaran ekonomi hewan kurban.
“Potensi ekonomi tersebut adalah jumlah yang besar untuk mengurangi angka kemiskinan para peternak di desa jika dikelola dengan benar. Sebagian besar peternak rakyat masih tergolong miskin, karena bagian terbesar keuntungan kurban justru dinikmati orang kota yang menjadi pedagangnya,” kata dia.
Emmy mengatakan tahun ini Baznas mengupayakan kurban agar bermanfaat bagi desa. Melalui program “Kurban Berdayakan Desa”, Baznas mendorong peningkatan ekonomi, kesehatan, pendidikan dan budaya di masyarakat desa dengan hewan ternak dibeli, disembelih dan dibagikan kepada masyarakat desa.
Pengurus Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI) Dana Vega Supriatna mengatakan pihaknya berupaya menguatkan peternak hewan kurban, terutama di desa, agar mendapatkan laba berlipat. “Secara umum mereka sedikit pengetahuan cara beternak yang baik dan benar,” kata Dana.
Dia mengatakan akibat yang paling nampak dari tidak adanya pengetahuan beternak yang baik yakni peternak tak kunjung mendapatkan hasil penjualan sesuai harga pasar.
Hal itu, kata dia, terjadi karena kebanyakan peternak hewan kurban hanya menjadikan beternak sebagai sampingan sehingga tidak serius.
Sebagai gambaran, lanjut dia, peternak sampingan itu memiliki pekerjaan utama sebagai petani. Mereka mencari rumput untuk ternak di sela bertani sehingga ongkos produksi untuk tenaga dan memberi makan hewan tidak dihitung. “Mereka tidak menghitung tenaganya, nilai pakan dan biaya lain yang dibutuhkan bulanan sehingga mereka asal butuh biaya mereka jual hewan ternak sedapatnya bahkan tidak tinggi harganya,” kata dia.
Dia mengatakan pengetahuan soal hewan ternak yang rendah itu membuat para peternak menjual dengan harga rendah. Di situlah peran HPDKI untuk turut mengedukasi masyarakat di 21 provinsi di Indonesia.
“Ketika pedagang pasar menawar Rp250 ribu-Rp300 ribu yang jauh di bawah harga pasar ya dia kasih karena dianggap sudah untung termasuk menutup biaya produksi. Padahal harga di pasaran Rp600 ribu-Rp800 ribu per ekor. Secara perhitungan itu merugi banyak,” katanya.
“Hal seperti itu perlu kita edukasi, kami menggarap di situ sehingga pengetahuan memelihara bertambah, juga tingkat ekonominya bisa meningkat,” kata dia.
Sementara itu, dia mengatakan harga hewan ternak jelang Idul Adha melonjak. Hal itu juga perlu edukasi bagi peternak rekanan HPDKI sehingga mereka dapat menjual dengan harga tinggi.
Jika di hari biasa, kata dia, peternak bisa mendapat margin keuntungan 15-20 persen maka saat jelang hari raya kurban bisa 50-60 persen atau keuntungan sekitar Rp500-Rp600 ribu per ekor hewan kurban.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan tentang makna luas dari Idul Adha yang tidak sekadar menyembelih hewan kurban. Tentu pesan yang disampaikannya itu terlepas dari apapun konteks kurban yang dilakukan di mana saja.
Hari raya Idul Kurban merupakan Hari Raya Penyembelihan. Secara lahir yang disembelih itu seekor hewan kurban yang ditentukan sesuai syariah.
Namun, kata Haedar, secara lebih luas kurban bisa diartikan menyembelih hawa nafsu dan segala godaan setan yang bermuara pada kepasrahan dan pengabdian diri kepada Allah yang maha rahman dan rahim.
Kurban juga bisa berarti dekat atau mendekatkan diri kepada Allah sehingga setiap yang berkurban semakin taat kehidupannya kepada Allah yang diwujudkan dengan segala ibadah dan amal saleh atas nama-Nya.
Berkurban dengan seekor hewan lebih mudah jika dibandingkan harus mengorbankan dengan nyawa Nabi Ismail anak Nabi Ibrahim. Perintah kurban bagi umat Islam tidak terlepas dari kisah perintah Allah yang memerintahkan Ibrahim menyembelih Ismail. Kemudian sesaat sebelum leher Ismail disembelih, Allah menggantikannya dengan seekor domba atau kambing.
Momentum itu terus diperingati umat Islam sebagai bentuk ketaatan Ibrahim dan Ismail kepada Allah. Dalam pelaksanaan perintah Ibrahim menyembelih Ismail itu tentu terdapat upaya setan untuk menggagalkan amalan itu.
Dengan segala tipu daya, setan berupaya membujuk Ibrahim dan Ismail agar tidak melakukan perintah Allah. Setan menghembuskan beragam tipu daya agar tidak ada pelaksanaan perintah Allah tentang berkurban.
“Saat itu Allah menguji keimanan Ibrahim untuk merelakan Ismail anak yang sangat dia cintai. Jika dimaknai lebih luas umat manusia kerap menganggap kurban dengan hewan terasa berat karena terlalu cinta dengan harta dan segala hiasan dunia,” kata dia.
“Di situlah pentingnya memaknai Idul Adha untuk membangkitkan jiwa ikhlas dalam pengabdian kepada Allah SWT,” katanya.@
Ant/Tim Egindo.co
Â