Jakarta|EGINDO.co Budiyanto, pemerhati masalah transportasi dan hukum, menilai bahwa penerapan kebijakan Zona Emisi Rendah (Low Emission Zone/LEZ) oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, khususnya Dinas Perhubungan, tidak akan efektif dalam mengurangi polusi udara. Menurut Budiyanto, penerapan LEZ di wilayah-wilayah tertentu seperti Kota Tua dan area lainnya di Jakarta dinilai tidak memadai untuk mengatasi permasalahan polusi yang ada.
Dia menjelaskan bahwa Jakarta memiliki lebih dari 24 juta kendaraan, belum termasuk kendaraan dari wilayah Jabodetabek yang masuk ke Jakarta. Kebanyakan kendaraan ini menggunakan bahan bakar fosil dengan kadar sulfur yang sangat tinggi, seperti Pertalite dan Solar, yang kadar sulfurnya berkisar antara 450 hingga 500 PPM. Hal ini jauh melebihi standar Euro IV yang menetapkan batas sulfur maksimal 50 PPM, yang mengindikasikan bahaya kesehatan yang signifikan.
Budiyanto juga mencatat bahwa kendaraan bermotor menyumbang sekitar 47% dari total polusi udara di Jakarta, sementara sisa polusi berasal dari sumber emisi gas lainnya. Karena udara bergerak, emisi gas buang dari kendaraan dapat menyebar ke wilayah sekitar, termasuk area yang diterapkan kebijakan LEZ.
Oleh karena itu, Budiyanto menekankan perlunya pembangunan sistem transportasi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Penggunaan sumber energi terbarukan, seperti baterai, tenaga angin, tenaga udara, dan tenaga surya, harus menjadi prioritas dalam upaya mengurangi polusi udara. Dia juga menyoroti pentingnya dukungan pemerintah dalam pengembangan kendaraan berbasis listrik dan pemberian subsidi bagi konsumen sebagai langkah menuju transportasi yang lebih hijau dan ramah lingkungan.
Menurut Budiyanto, kebijakan LEZ yang bersifat parsial tidak akan cukup efektif karena jumlah kendaraan yang sangat besar dan mayoritas menggunakan bahan bakar fosil. Untuk itu, diperlukan pendekatan yang lebih menyeluruh dan terintegrasi guna mengatasi masalah polusi udara secara efektif dan berkelanjutan. (Sn)