Jakarta|EGINDO.co Permintaan global terhadap kredit karbon tercatat menurun sekitar 18 persen pada November 2025, meskipun Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa COP30 di Belém, Brasil, berhasil mencatatkan sejumlah kemajuan penting dalam penguatan pasar karbon internasional. Fenomena ini menunjukkan adanya jurang antara perkembangan regulatif dan minat pasar yang masih tertahan.
Analisis pasar menunjukkan bahwa aktivitas pembelian kredit karbon masih belum pulih secara signifikan, terutama dari pembeli korporasi dan negara yang dinilai masih menahan diri. Penurunan ini terjadi walaupun COP30 menghadirkan optimisme baru bagi mekanisme perdagangan karbon melalui kesepakatan teknis dan penyempurnaan standar internasional.
Para pelaku pasar menilai bahwa reformasi kelembagaan dan penguatan mekanisme transparansi belum langsung diterjemahkan menjadi peningkatan permintaan, mengingat masih adanya kehati-hatian terkait risiko reputasi, integritas proyek, dan kepastian regulasi di masing-masing negara.
COP30 menjadi salah satu konferensi paling penting dalam sejarah pengembangan pasar karbon. Sejumlah capaian utama meliputi:
-
Pengalihan resmi dari mekanisme CDM ke Paris Agreement Crediting Mechanism (PACM) sebagai sistem kredit karbon global yang lebih modern, akuntabel, dan transparan.
-
Penguatan sistem pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) untuk memastikan integritas proyek dan mencegah praktik manipulatif.
-
Pembentukan koalisi internasional pasar karbon, diikuti oleh lebih dari 18 negara yang berkomitmen membangun platform perdagangan karbon yang terintegrasi dan berstandar tinggi.
-
Penegasan kembali bahwa transaksi karbon harus memberikan manfaat nyata bagi mitigasi perubahan iklim dan tidak boleh sekadar menjadi instrumen komersial.
Langkah-langkah ini dinilai sebagai fondasi stabilitas jangka panjang bagi pasar karbon serta memberi sinyal kuat bagi investor dan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi.
Kontradiksi antara kemajuan kebijakan dan lemahnya permintaan kredit karbon disebabkan oleh beberapa faktor utama:
-
Minimnya pembeli institusional aktif, khususnya negara dan perusahaan besar yang masih berhitung terkait dampak reputasi dan efektivitas offset karbon.
-
Kekhawatiran atas kualitas proyek, mengingat banyak kredit yang beredar berasal dari proyek lama yang belum sepenuhnya memenuhi standar integritas baru.
-
Masa transisi regulasi, di mana banyak proyek karbon belum memperoleh sertifikasi PACM sehingga suplai kredit berkualitas masih terbatas.
-
Kritik publik dan LSM lingkungan, terutama terhadap potensi greenwashing, yang membuat perusahaan lebih selektif dalam membeli kredit.
Kondisi ini mencerminkan bahwa reformasi pasar memerlukan waktu untuk terbukti mampu membangun kepercayaan dan mendorong transaksi nyata.
Bagi negara seperti Indonesia yang memiliki potensi besar melalui hutan tropis, gambut, dan ekosistem biru (blue carbon), dinamika ini memiliki implikasi strategis:
-
Ada peluang besar ketika standar global makin jelas, sehingga proyek dengan kualitas tinggi berpotensi bersaing di pasar internasional.
-
Namun, rendahnya permintaan global menuntut peningkatan integritas proyek, termasuk perbaikan tata kelola, keterlibatan masyarakat lokal, serta penerapan MRV yang kuat.
-
Indonesia perlu memastikan bahwa setiap proyek benar-benar memberikan manfaat lingkungan dan sosial, untuk meningkatkan daya tarik kredit di mata pembeli internasional.
Penurunan permintaan kredit karbon sebesar 18 persen pada November 2025 menjadi pengingat bahwa pasar karbon masih berada dalam fase krusial. Terobosan regulatif dari COP30 menunjukkan arah yang jelas, namun implementasi dan kepercayaan pasar belum sepenuhnya terbentuk.
Ke depan, keberhasilan pasar karbon global ditentukan oleh kombinasi antara integritas proyek, kepastian regulasi, dan komitmen pembeli. Reformasi sudah berjalan; tantangannya kini adalah memastikan pasar merespons dengan keyakinan dan partisipasi yang lebih kuat. (Sn)