Oleh: Fadmin Malau
INDONESIA ditargetkan menjadi lumbung pangan dan energi dunia kata Menteri Pertanian RI, Andi Amran Sulaiman ketika melakukan ujicoba dan soft launching implementasi pemanfaatan biodiesel B-50 pada Minggu 18 Agustus 2024 di kawasan Pabrik Biodiesel PT Jhonlin Agro Raya (JAR), Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Harapannya jika konsisten maka dalam tiga tahun mendatang, Indonesia kembali akan mengalami swasembada pangan seperti era 2017-2020 dan dapat menjadi lumbung pangan dunia dimana dengan implementasi B50 Indonesia akan mampu menjadi lumbung energi dunia khususnya biodiesel. Implementasi B-50 merupakan bagian dari upaya pemerintah mewujudkan kemandirian energi nasional dan energi hijau.
Apa yang dikatakan Andi Amran satu hal yang sangat memungkinkan karena Indonesia menguasai 58 persen produksi CPO dunia. Hal yang menggembirakan bahwa dengan menggunakan biodiesel dapat menghemat devisa negara karena impor solar masih membebani keuangan negara dimana rata-rata Rp300-400 Triliun per tahun.
Kemudian dari segi pemanfaatan minyak sawit untuk B-50 sudah pasti menjadi angin segar bagi kemajuan industri kelapa sawit nasional yang tentunya perlu pematangan dalam aspek teknik, kebijakan, komersil, aspek lingkungan agar program B-50 berjalan baik. Untuk masa depan dipastikan kebutuhan biodiesel berbasis kelapa sawit akan semakin besar, khususnya untuk dalam negeri dan bila itu terwujud maka ketahanan energi nasional semakin kuat.
Berdasarkan data Statistik Direktorat Jenderal Perkebunan Angka Sementara Tahun 2023 Kelapa Sawit memiliki lahan seluas 16,8 Juta ha dengan produksi sebesar 46,9 juta ton. Produksi sawit itu sangat mendukung dalam implementasi B-50. Untuk itu akselerasi implementasi pengembangan biodiesel B-50 harus dilakukan.
Potensi B-50 yang nyata adalah karena Biodiesel dapat diandalkan untuk menjadi alternatif mengganti bahan bakar fosil yang pada dasarnya akan semakin langka pasokannya dan biodiesel menjadi berperan penting untuk memenuhi kebutuhan energi yang sudah terbukti lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, tidak beracun dan dibuat dari minyak nabati. Secara kimia biodiesel termasuk dalam golongan mono alkil ester atau metil ester dengan panjang rantai karbon antara 12 sampai 20. Hal ini yang membedakannya dengan petroleum diesel (solar) yang komponen utamanya adalah hidrokarbon.
Kolaborasi Holding PTPN III dan Kementan serta PPKS
Tidak ada pilihan bahwa bahan bakar dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) bagi masa depan sangat diperlukan untuk itu setelah melalui serangkaian uji coba yang dilakukan oleh Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) bekerja sama dengan Kementerian Pertanian (Kementan) dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) yang sejak April 2019 merupakan anak usaha Holding Perkebunan Nusantara.
Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara PTPN III, Mohammad Abdul Ghani menilai selain mendapatkan manfaat secara teknis, penggunaan B-50 juga memiliki dampak positif terhadap industri kelapa sawit di Indonesia. Penggunaan B-50 pada masa mendatang akan meningkatkan penyerapan minyak kelapa sawit (CPO) dalam negeri, sekaligus menjadi penyangga harga CPO.
“Kita, Indonesia sebagai salah satu produsen CPO terbesar di dunia, Indonesia memiliki keunggulan dengan produk yang renewable dan efisien ini, yang juga berpotensi besar untuk diekspor,” kata Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara PTPN III, Mohammad Abdul Ghani.
Menurut Ghani bahwa keberhasilan ujicoba B-50 tentu menjadi penambah kepercayaan diri para peneliti dan inovator PPKS untuk mematangkan riset dan pengaplikasian B-50 secara luas di masyarakat. Tentunya PTPN Group terus berkomitmen mendukung program pemerintah dalam upaya ketahanan energi nasional melalui peningkatan bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
“Kedepan, keberhasilan B-50 diharapkan tidak hanya menjadi solusi bagi ketahanan energi nasional, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia di pasar energi hijau global berbasis kelapa sawit. Kami juga terus membantu dan mendukung PPKS sebagai tulang punggung riset dan inovasi kelapa sawit nasional,” kata Ghani menegaskan.
Pada masa depan, penggunaan B-50 akan dapat meningkatkan penggunaan produk turunan minyak sawit, baik dalam dan luar negeri. Industri biodiesel tentu akan membutuhkan minyak sawit dalam jumlah besar, sehingga harga jual Tandan Buah Segar (TBS) dan minyak sawit dapat meningkat. Bila harga jual TBS meningkat maka petani sawit akan sejahtera dan tentang tantangan sawit Indonesia yang terus dilanda kampanye hitam dapat diatasi karena berhasil digunakan untuk B-50. Tentunya bagi PPKS sebuah peluang besar untuk memberhasilkan sawit Indonesia, mampu mendedikasikan PPKS menjadi satu lembaga yang mendukung pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang siap memanfaatkan produk hilir kelapa sawit.
Pelopori Uji Kendaraan Bahan Bakar Minyak Sawit
Menteri Pertanian RI, Andi Amran Sulaiman ketika melakukan ujicoba dan soft launching implementasi pemanfaatan biodiesel B-50 pada Minggu 18 Agustus 2024 lalu di kawasan Pabrik Biodiesel PT Jhonlin Agro Raya (JAR), Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan satu tanda keberhasilan PPKS melakukan ujicoba penggunaan minyak sawit bagi kendaraan yang tidak kenal henti.
Pada posisi ini kemandirian energi lewat B-50, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) menjadi pelopor sebab PPKS sejak awal melakukan uji kendaraan berbahan bakar minyak sawit. PPKS secara khusus sejak tahun 1992 telah mengembangkan biodiesel minyak sawit yang diuji coba sejak tahun 2001 untuk mesin-mesin pertanian dan angkutan barang bersamaan dengan diadakannya Seminar Internasional Biodiesel di Medan. Artinya sejak awal PPKS sudah memikirkan bagaimana agar minyak sawit bisa menjadi bahan bakar pengganti bahan bakar fosil.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) menjadi pelopor B50. Pasalnya PPKS sudah melakukan uji jalan kendaraan berbahan biodiesel campuran 50% (B50) sampai saat ini sejauh 170.891 kilometer dan melalui uji jalan itu, PPKS ingin memperoleh data hasil penelitian yang baik berkaitan penggunaan B50 terhadap kendaraan. Dalam ujicoba tersebut, kendaraan yang digunakan yaitu dua unit Toyota Innova Diesel keluaran tahun 2018 tanpa modifikasi apapun pada mesin atau selang dan hingga Juli 2024, kendaraan ujicoba itu telah menempuh jarak 170.891 km.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa B-50 memiliki performa yang sangat positif, termasuk konsumsi bahan bakar yang efisien dengan rata-rata 11,82 km per liter serta kondisi kendaraan yang tetap baik hingga saat ini. Keunggulan lain dari B-50 adalah kandungan sulfurnya yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar solar konvensional. Bila terlalu tinggi kadarnya sulfur pada solar dapat menyebabkan kerak, menimbulkan kerusakan pada komponen mesin, hingga saluran bahan bakar.
Peneliti ahli madya PPKS Medan Dr. M. Ansori Nasution, M.Sc mengatakan uji jalan kendaraan berbahan biodiesel campuran 50% (B-50) sampai saat ini sudah sejauh 170.891 kilometer dan tidak ada masalah, semuanya berjalan lancar dengan kemampuan kendaraan atau mobil mesin dalam kondisi prima.
Tidak sulit dan memiliki prospek yang baik sebab pasokan biodiesel berasal dari pilot plant pabrik biodiesel PPKS kapasitas 3 ton per hari. Produk biodesel PPKS sudah sesuai standar SNI 2015 dimana laporan menyebutkan pencampuran B-50 memperhitungkan komposisi biodiesel komersil yang diperoleh dari SPBU Pertamina (B-20) lalu untuk 100 L B-50, diperlukan 62.5 L biodiesel komersil (B-20) yang dicampur dengan 37.5 L biodiesel produksi PPKS (B-100) dan pencampuran dilakukan dalam tanki mobil.
Apa yang diraih PPKS telah melakukan uji kendraan berbahan bakar B-50 bukan secara tiba-tiba akan tetapi dilakukan penelitian yang terencana, terprogram tahap demi tahap. Pada akhir tahun 2004 telah dilakukan road test (uji jalan) Medan-Jakarta dengan menggunakan biodiesel B-10 (kandungan biodiesel 10% dan 90% adalah solar) pada kendaraan truk dan penumpang dengan hasil yang menggembirakan. Kemudian pada 2007 juga dilakukan road test biodiesel B-10 dengan kendaraan penumpang yang memiliki teknologi mesin yang lebih modern dengan hasil yang juga cukup memuaskan.
Dari ujicoba itu penggunaan biodiesel dipandang menjanjikan sebab bernilai ekonomi tinggi (gliserol) dan berdasarkan potensi produksi biodiesel dalam negeri dan keragaan teknisnya serta sejalan dengan program pemerintah dalam mendiversifikasi sumber energi dengan energi yang terbarukan, maka penggunaan biodiesel perlu ditingkatkan dari 20% atau B-20 untuk yang lebih tinggi persentasenya. Selanjutnya tahun 2019, target terhadap penggunaan biodiesel sebesar 30%, dan seterusnya hingga tahun 2025 adalah 50%. Namun, pada 18 Agustus 2024 lalu Menteri Pertanian RI, Andi Amran Sulaiman telah melakukan ujicoba dan soft launching implementasi pemanfaatan biodiesel B-50. Artinya implementasi B-50 bisa dilaksanakan lebih awal dari jadwal yang ditargetkan. Bila memungkinkan, mengapa tidak yang tentunya harus dilengkapi dengan data hasil penelitian yang baik.
Tentunya PPKS memiliki tugas melakukan penelitian dan penelitian itu untuk mendapatkan hasil yang baik, dapat dipergunakan dengan baik dan sempurna dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian energi nasional dan energi hijau, dimana sesungguhnya ujicoba penggunaan bahan bakar biodiesel 50% (B50) pada kendaraan sudah dilakukan Pusat Penelitian Kelapa Sawit sejak tahun 2018 dan pada 25 hingga 31 Januari 2019 lalu. Ujicoba (road test) pada kendaraan yang menempuh perjalanan dari Medan ke Jakarta dan rute sebaliknya dari Jakarta ke Medan.
PPKS berhasil meningkatkan penggunaan biodiesel dan melengkapi data penelitian serta sosialisasi kenderaan berbahan bakar hasil pencampuran 50% solar dengan 50% biofuel berbahan dasar sawit. Artinya PPKS berhasil menjadi pelopor uji kendaraan berbahan bakar minyak sawit yang menjanjikan masa depan sawit Indonesia yang lebih cerah. Semoga.
***
Penulis adalah Pemimpin Redaksi EGINDO.co dan mantan Dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan