Perjalanan Hidup Eka Tjipta Widjaja Bermula dari Pujian

Kota Quanzhou di pesisir Fujian tempat kelahiran Eka Tjipta Widjaja
Kota Quanzhou di pesisir Fujian tempat kelahiran Eka Tjipta Widjaja

Mengenang Lima Tahun Meninggalnya Eka Tjipta Widjaja

 

Oleh: Fadmin Malau

 KISAH kehidupan Eka Tjipta Widjaja bermula dari sebuah daerah di Tiongkok. Tersebutlah Fujian sebuat Provinsi di Tiongkok. Daerah Fujian sebuah daerah yang tidak sama dengan daerah lainnya di Tiongkok. Fujian memiliki cerita tersendiri dimana ada suatu periode panjang dari kemunculan orang-orang di Provinsi Fujian, Tiongkok. Dinilai tidak sama dengan provinsi lain di Tiongkok dikarenakan penduduk asli sudah berasimilasi dengan penduduk lainnya dan melahirkan populasi bangsa Tionghoa.

Mengutip tulisan Bielenstein, Hans berjudul, “The Chinese colonization of Fukien until the end of Tang,” Canberra: Canberra University College menceritakan pengaruh Tionghoa terhadap Fujian pada akhir periode Dinasti Han, daerah Fujian masih kosong, sedangkan daerah lain di Tiongkok telah dikuasai dan diperintah oleh kekaisaran.

Fujian belum ditemukan dalam catatan sejarah sebelum abad ke-3 Masehi. Besar dugaan daerah Fujian dikuasai oleh bangsa Minyue, salah satu dari kerajaan kesukuan Yue yang telah mengadakan kontak dengan bangsa Tionghoa sejak Periode Negara Berperang. Kerajaan Yue berpusat di bagian utara Fujian. Pada periode pemerintahan Qin Shi Huang (221 SM-210 SM), kepemimpinan suku Yue dihapus dan pada daerah bekasnya didirikan Distrik Min Chung.

Kala itu, distrik atau daerah tersebut dianggap hanya nama saja karena belum ada kota Tionghoa. Menurut catatan sejarah Tiongkok, Shiji, pada masa pemerintahan Kaisar Wu dari Dinasti Han (140 SM – 87 SM), pemberontakan oleh penguasa Minyue dihancurkan. Kaisar memerintahkan bangsa Minyue untuk pindah ke utara atau daerah antara Sungai Yangtze dan Huai.

Menurut sejarawan Hans Bielenstein, yang dikutip dari “The Chinese colonization of Fukien until the end of Tang,” Canberra: Canberra University College bahwa data tersebut tidak akurat sebab tidak mungkin seluruh penduduk asli dipindahkan ke Tiongkok bagian tengah, sementara daerah Fujian nyaris tidak disentuh sama sekali oleh pemerintah.

Baca Juga :  Tilang Warna Merah, Warna Biru Untuk Pelanggar Lalu Lintas

Menurut Hans Bielenstein, Kaisar Wu (140 SM-87 SM) adalah satu-satunya yang pernah memerintahkan penyerbuan terhadap Suku Yue sekitar tahun 111 Sebelum Masehi (SM0. Kaisar Wu dan penerusnya hanya mendirikan sebuah kota prefektur di pesisir Fujian. Disebutkan daerah Fujian merupakan daerah perbatasan, ratusan tahun kemudian Fujian ditionghoakan dan pada tahun 742, jumlah penduduk Fujian diperkirakan 412.000 jiwa.

Dari lukisan di The Travels of Marco Polo digambarkan Kota Quanzhou di pesisir Fujian. Kota yang menjadi migrasi besar pertama pada masa pemerintahan Dinasti Jin (317 M – 420 M) disebabkan adanya kekacauan, serbuan dari bangsa nomaden yang mendiami utara Tiongkok, bangsa Tionghoa dari Dataran Tengah pindah ke selatan. Migrasi berlangsung lama dan sampai ke selatan dalam kelompok-kelompok kecil.

Migrasi besar-besaran terjadi pada masa Dinasti Tang (618-907), begitu juga pada periode Lima Dinasti dan Sepuluh Negara (907-960) dimana setelah kejatuhan Dinasti Tang, meletus perang saudara. Kedua bersaudara Wang Chao dan Wang Shenzhi yang berasal dari Henan pindah ke Fujian dan mendirikan Dinasti Min yang berusia singkat.

Gelombang migrasi pada masa Dinasti Sung ke daerah Fujian diikuti oleh banyak pejabat dan petinggi pemerintahan, diyakini memberi warna bagi perkembangan budaya setempat. Kekacauan terjadi pada periode Dinasti Ming dan Qing, membuat rakyat di daerah Fujian mengungsi dan pindah keluar antara lain ke Taiwan, Indonesia dan Asia Tenggara.

Dikutip dari tulisan Chang, Ting Ting, Trade and Immigration History in 16th-20th Century Taiwan: Historical Similarity and Continuity with Post-1980 Cross-strait Relations menyebutkan sebagian sejarawan menganggap pada masa lalu Fujian termasuk daerah perbatasan karena letaknya yang jauh. Daerahnya 90 persen wilayah bergunung-gunung, menyisakan sedikit ruang untuk populasi pesisir yang padat.

Penduduknya di bagian selatan banyak berinteraksi dengan orang asing. Menurut catatan zaman Ming, walau dengan daerah yang begitu sempit untuk dikembangkan, masyarakat Fujian giat berusaha menghasilkan produk pertanian, kerajinan tangan, tekstil, sutera, katun, satin, gula tebu dan keramik yang membuat dibangunnya transportasi dan perdagangan. Pada pertengahan periode Ming, puncak periode perdagangan di Fujian.

Baca Juga :  Harga Pulp Dunia Pemulihan, Konsumsi Kertas Dunia Meningkat

Dalam tulisan Chang, Ting Ting, Trade and Immigration History in 16th-20th Century Taiwan: Historical Similarity and Continuity with Post-1980 Cross-strait Relations diungkapkan bahwa sejarah Fujian banyak berkaitan dengan bahari. Dalam catatan sejarah Ming menyebutkan bahwa rakyat Fujian merupakan pelaut ulung serta ahli dalam membuat kapal.

Kapal kayu terbesar di dunia (Kapal Harta Zhenghe) yang dibuat di Fujian pada zaman Ming pernah mengarungi lautan ke Afrika dan India. Selama berabad-abad para pedagang Fujian mengadakan perdagangan lewat laut dikarenakan posisi geografisnya. Kemakmuran dari perdagangan pada akhirnya membentuk organisasi-organisasi dagang kelautan (jiaoshang) di Fujian. Organisasi seperti itu telah ada sebelum Dinasti Ming.

Namun demikian, Pelarangan Maritim memengaruhi aktivitas rakyat Fujian karena Ming melarang semua perdagangan yang dilakukan secara privat. Kemudian akhirnya menciptakan sistem penyelundupan serta perdagangan ilegal dengan orang asing sangat banyak di pesisir Fujian. Para pedagang gelap dan rakyat Fujian di pesisir dianggap penguasa Ming sebagai kriminal dan daerah Fujian sering dijuluki sebagai sarang penyamun dan pedagang gelap. Pelarangan berdagang keluar oleh Ming menumbuhkan bibit pemberontakan.

Kini Etnis Tionghoa ada sekitar 4 persen dari jumlah penduduk Indonesia dan sebelum Indonesia merdeka, mereka telah ada. Berbagai referensi menyebutkan leluhur etnis Tionghoa datang ke Indonesia salah satu faktor penyebabnya adalah ekonomi dan politik. Mereka (baca: etnis Tionghoa) ada yang datang sebagai pedagang, ada yang datang untuk menjadi kuli kontrak, ada yang datang sebagai pelarian politik. Terus berkembang dan menyatu dengan rakyat Indonesia dan bahkan sejarah mencatat etnis Tionghoa pernah memberontak terhadap pemerintahan VOC (tahun 1740) di Batavia (Jakarta) sebagaimana tulisan Fadmin Malau berjudul, “Perbedaan Dalam Persamaan Politik Etnis Tionghoa,” yang dipublis pada portal berita EGINDO.co pada Minggu 16 Oktober 2022.

Baca Juga :  Franky Oesman Widjaja: Indonesia Jadi Destinasi Investasi

Disebutkan dalam tulisan Fadmin Malau itu secara umum etnis Tionghoa di Indonesia memiliki peranan besar dalam perjalanan bangsa Indonesia. Memang peran itu selalu berbeda-beda dari waktu ke waktu, tergantung situasi dan kondisi yang ada. Sebelum Perang Dunia II, orientasi politik etnis Tionghoa menganggap dirinya hanya sebagai penduduk tetap, sementara Hindia Belanda (Hwa Chiao) menganggap etnis Tionghoa sebagai Nederlandsch Onderdaan (Kaula negara Belanda).

Setelah pemerintahan Hindia Belanda takluk dan Jepang berkuasa banyak etnis Tionghoa yang ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah penjajah Jepang. Setelah Indonesia merdeka, banyak etnis Tionghoa menjadi warga negara Indonesia. Sejarah telah mencatat banyak pemimpin etnis Tionghoa turut berpartisipasi dalam kancah politik di negara Republik Indonesia dengan membentuk berbagai macam organisasi politik untuk melindungi kepentingan mereka seperti Chung Hwa Hwee, tahun 1948, berdiri Persatuan Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI), tahun 1954, terbentuk Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Badan tersebut memperjuangkan persamaan hak semua rakyat Indonesia, termasuk etnis Tionghoa.

Keberagaman Indonesia, satu untuk semua. Semua untuk satu etnis Tionghoa yang era Orde Baru pernah “tidur panjang” tidak turut serta berpolitik, hanya berfokus pada sendi perekonomian akan tetapi kini kehadirannya sangat menggembirakan terlihat dari gairah para generasi muda etnis Tionghoa dalam berpolitik. Memang bila dilihat dari perjalanan sejarah etnis Tionghoa telah membuktikan peran serta mereka dalam perjuangan bangsa Indonesia keluar dari tangan penjajah, lantas pembangunan bangsa Indonesia setelah merdeka dan kini saatnya pada era reformasi memberikan kontribusi langsung dalam bidang politik, sosial dan ekonomi serta budaya bangsa. Kehadiranya sangat diapresiasi, disambut baik dengan satu tujuan dalam keberagaman Indonesia semua komponen bangsa ikut membangun Indonesia pada segala bidang tanpa terkecuali bidang politik. (BERSAMBUNG besok bagian ketiga)

***

Bagikan :