Medan | EGINDO.com – Gelombang keresahan publik atas rusaknya ekologi Tapanuli Raya mendorong berbagai elemen masyarakat untuk menggelar Sidang Rakyat di Kantor Pusat HKBP Pearaja, Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Agenda yang dijadwalkan sebagai forum moral lintas agama, adat, akademisi, dan masyarakat sipil itu diproyeksikan menjadi ruang paling terbuka untuk mengaudit kerusakan hutan, air, dan Kawasan Danau Toba.
Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumatera Utara (Sumut), Shohibul Anshor Siregar, dalam siaran persnya kepada wartawan, Jumat (12/12/2025) kemarin menegaskan bahwa, jika dapat dilaksanakan, Sidang Rakyat ini adalah respons terakhir masyarakat ketika negara dan korporasi tidak mampu lagi menyediakan kebenaran ekologis. “Kerusakan ekologis di Tapanuli Raya sudah melampaui batas kewajaran. Deforestasi, sedimentasi Danau Toba, banjir berulang, pencemaran air, hilangnya habitat, dan hancurnya tanah adat adalah bukti bahwa pemerintah gagal menjalankan mandat konstitusi untuk melindungi rakyat,” ujarnya.
Menurutnya, forum yang sebaiknya digelar di Pearaja memiliki makna strategis karena diinisiasi oleh lembaga moral yang memiliki legitimasi sosial kuat. HKBP, sebagai institusi agama terbesar di Tano Batak, bahkan di Indonesia, dinilai Siregar memainkan peran sejarah sebagai penjaga suara rakyat saat negara tersumbat oleh kepentingan oligarki.
Siregar mengungkapkan bahwa Sidang Rakyat akan menghadirkan berbagai pihak yang selama ini dianggap bertanggung jawab atas degradasi lingkungan, termasuk: pejabat pemerintah pusat dan daerah, instansi kehutanan, lingkungan hidup, dan tata ruang, korporasi kehutanan, tambang, energi, dan pariwisata, serta kelompok masyarakat adat dan korban bencana. “Korporasi yang selama ini beroperasi di Kawasan Danau Toba dan Tapanuli Raya harus duduk sama rendah dengan rakyat dan menjawab pertanyaan mengenai dampak kegiatan mereka. Ini bukan forum basa-basi. Ini forum kebenaran,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa para akademisi dari berbagai universitas juga akan mempresentasikan data ilmiah, mulai dari peta deforestasi, analisis hidrologi Danau Toba, hingga catatan mutu air dan tanah.
Siregar menegaskan Sidang Rakyat tidak berhenti pada kritik, tetapi akan melahirkan rekomendasi kebijakan yang disusun melalui Deklarasi Pearaja. Dokumen tersebut akan disampaikan kepada Presiden RI, DPR, KLHK, serta pemerintah provinsi dan kabupaten. “Kami menuntut moratorium total pembukaan hutan baru, pengetatan izin tambang dan proyek besar yang merusak sempadan Danau Toba, serta kewajiban restorasi ekologis bagi seluruh perusahaan. Rakyat sudah terlalu lama hanya jadi korban,” ujar Siregar.
Ia juga meminta pemerintah pusat membentuk Satgas Pemulihan Ekologis Tapanuli Raya yang independen untuk memutus rantai konflik kepentingan, dan jika dapat memberi ultimatum penghentian sementara operasionalisasi seluruh korporasi ekstraktif sebelum hasil sidang rakyat diperoleh.
Shohibul Anshor Siregar menilai bahwa bencana dan kerusakan alam yang terjadi di Tapanuli Raya bukan sekadar peristiwa alamiah, tetapi hasil panjang tata kelola yang buruk. “Ini bukan bencana alam biasa. Ini bencana struktural. Ia lahir dari perizinan yang longgar, pengawasan yang lemah, dan keberpihakan yang terlalu besar pada investasi ekstraktif. Rakyat Tapanuli harus menyatakan bahwa keselamatan manusia jauh lebih penting daripada keuntungan segelintir orang,” katanya.
Sidang Rakyat dijadwalkan terbuka untuk publik dan live-streaming agar seluruh warga Tapanuli Raya dapat menyaksikan jalannya pemeriksaan dan kesaksian. “Ini momentum bersejarah. Pearaja akan menjadi ruang di mana rakyat menagih keadilan ekologis yang selama ini tertunda,” kata Shohibul Anshor Siregar menegaskan.@
Rel/timEGINDO.com