Ketegangan Iran-AS, Dunia Terancam Krisis Energi

ilustrasi
ilustrasi

Jakarta|EGINDO.co  Ketegangan di kawasan Timur Tengah kembali memuncak setelah Amerika Serikat melancarkan serangan udara ke tiga fasilitas nuklir milik Iran pada Minggu (22/6/2025). Merespons serangan tersebut, Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz—jalur pelayaran strategis yang menjadi nadi distribusi minyak global.

Selat Hormuz yang terletak di antara Iran dan Oman merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia. Selat ini menghubungkan wilayah Teluk dengan Laut Arab melalui Teluk Oman. Di bagian tersempitnya, lebar selat hanya sekitar 33 kilometer, sementara lebar jalur pelayaran efektif masing-masing arah hanya sekitar 3 kilometer.

20 Persen Minyak Dunia Terancam Tersendat

Pakar ekonomi dan kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengungkapkan bahwa konflik bersenjata antara Amerika Serikat, Israel, dan Iran akan berdampak jauh lebih luas dibandingkan kerugian fisik dan korban jiwa.

“Sekitar 20 persen pasokan minyak dunia melalui Selat Hormuz. Jika jalur ini terganggu, dampaknya akan sangat besar bagi stabilitas harga energi global,” ujarnya kepada Tribunnews, Senin (23/6/2025).

Achmad menjelaskan bahwa sejak kabar serangan udara dikonfirmasi, harga minyak mentah di pasar berjangka langsung melonjak. Harga minyak dunia naik dari 78 dolar AS menjadi 80 dolar AS per barel dalam waktu singkat. Ia memperkirakan bahwa jika ketegangan terus berlanjut selama sepekan, harga bisa tembus 110 dolar AS per barel.

“Jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz, harga minyak mentah bisa meroket hingga 150 hingga 170 dolar AS per barel,” ujarnya.

Risiko Inflasi dan Resesi Global Meningkat

Achmad juga memperingatkan bahwa konflik ini berpotensi menimbulkan efek domino terhadap perekonomian global, mulai dari lonjakan inflasi, peningkatan biaya logistik, tekanan terhadap anggaran negara berkembang, hingga ancaman resesi.

Menurutnya, negara-negara pengimpor energi seperti Indonesia akan merasakan dampak yang signifikan. Selain itu, konflik juga diperkirakan akan meluas ke negara-negara lain di kawasan.

“Kelompok Houthi di Yaman telah memperingatkan akan menyerang kapal perang Amerika di Laut Merah. Hizbullah kemungkinan akan meningkatkan serangan ke wilayah utara Israel, dan milisi Syiah di Irak, Suriah, bahkan Afghanistan bisa saja turut melakukan serangan balasan,” jelas Achmad.

Ia menambahkan, jika kondisi ini tak terkendali, maka Timur Tengah dapat berubah menjadi kawasan konflik berskala besar. Ketegangan tersebut diyakini akan memengaruhi pasar keuangan global, dengan pergeseran investasi ke aset aman seperti emas dan dolar AS, yang justru akan menimbulkan ketidakseimbangan baru.

Gangguan terhadap jalur logistik penting seperti Terusan Suez dan rute pelayaran Asia-Afrika-Timur Tengah juga diperkirakan akan memperparah krisis rantai pasok. “Ini bisa memicu lonjakan harga pangan dan barang kebutuhan pokok, memperdalam krisis kelaparan di Afrika, serta memperbesar risiko sosial di negara-negara berpendapatan rendah,” katanya.

Indonesia Terancam Tiga Krisis Sekaligus

Achmad menilai bahwa Indonesia akan terdampak dalam tiga aspek utama: fiskal, moneter, dan sosial.

Pertama, lonjakan harga energi akan memperberat beban subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), khususnya untuk bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan LPG. “Jika tak diimbangi dengan peningkatan penerimaan negara, defisit anggaran akan melebar,” ujarnya.

Kedua, inflasi yang dipicu oleh kenaikan harga impor energi dan pangan akan melemahkan nilai tukar rupiah. Bank Indonesia, menurut Achmad, kemungkinan akan terpaksa menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, yang pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan memperberat dunia usaha.

Ketiga, tekanan sosial akan meningkat seiring dengan naiknya harga kebutuhan pokok, yang paling dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

“Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia tidak boleh bersikap pasif. Perlu segera disusun langkah diplomatik dan kebijakan ekonomi yang antisipatif,” tegasnya.

Ia menyarankan agar ketergantungan terhadap impor minyak segera dikurangi, penggunaan energi alternatif dipercepat, dan pemerintah aktif menyuarakan perdamaian di forum-forum internasional guna mencegah eskalasi konflik lebih jauh.

Pertumbuhan Ekonomi RI Terancam Terkoreksi

Senada dengan Achmad, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa memanasnya konflik di Timur Tengah akan berdampak langsung terhadap distribusi energi dan bahan baku global.

“Ini merupakan kali pertama Amerika secara langsung menyerang Iran. Kondisi ini sangat berisiko memicu perluasan konflik di kawasan,” katanya.

Menurut Bhima, gangguan terhadap distribusi minyak dan gas melalui Selat Hormuz dapat memperlemah neraca perdagangan Indonesia serta menurunkan daya beli masyarakat akibat kenaikan harga BBM.

“Kenaikan harga BBM akan membebani pelaku usaha dan konsumen. Jika dibiarkan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan melambat,” jelasnya.

Ia memprediksi, bila konflik berlangsung lama, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 hanya akan mencapai 4,5 persen secara tahunan. Sementara target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan sebesar 8 persen akan semakin sulit dicapai.

“Dengan situasi eksternal yang penuh tekanan serta efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah, pencapaian target pertumbuhan 8 persen menjadi semakin berat,” pungkas Bhima.

Sumber: Tribunnews.com/Sn

Scroll to Top