Oleh: Dr. Ir. H.M. Edwin Syahputra Lubis, M.AgrSc
Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit atau minyak sawit terbesar di dunia. Hal ini dibuktikan dengan luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 15 juta hektare. Begitu juga dengan produksi Crude Palm Oil (CPO). Berdasatkan data Kementan 2019, produksi CPO sebesar 45 juta ton. Kemudian pada tahun 2020 lalu produksi CPO sebesar 50 juta ton.
Sudah satu setengah tahun Coronavirus (Covid-19) melanda dunia, termasuk Indonesia. Berbagai sektor kehidupan terdampak. Bagaimana dengan sektor ekonomi perkelapasawitan di Indonesia?
Produksi kelapa sawit pada dasarnya dipengaruhi meningkatnya kebutuhan minyak nabati dunia. Selalu dan selalu produksi kelapa sawit berfluktuasi dengan rata-rata laju pertumbuhan sekitar 0,37% per tahun. Kemudian rata rata produktivitas kelapa sawit di Indonesia sebesar 3,66 ton per hektar.
Berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) tahun 2020 lalu. Produksi kelapa sawit Indonesia masih didominasi Perkebunan Besar Swasta (PBS) yaitu 51% dan Perkebunan Rrakyat (PR) sebesar 36%, sementara Perkebunan Besar Negara (PBN) sebesar 13%. Ekspor minyak sawit Indonesia mendapat tantangan, terutama di pasar Eropa, dengan adanya kampanye negatif terkait dengan isu sosial, kesehatan dan lingkungan. Namun, volume ekspor CPO dan turunannya menunjukkan peningkatan selama lima tahun terakhir kecuali pada tahun 2016. Pada tahun 2019, ekspor CPO dan turunannya mencapai 35 juta ton.
Dari data produksi kelapa sawit Indonesia selama tahun 2020 hingga tahun 2021 dimana masa masanya pandemi Covid-19 tidak mengalami penurunan yang signifikan. Pertumbuhan produksi masih tetap baik. Artinya produktivitas kelapa sawit Indonesia masih lancar.
Mengenai harga sawit dunia berdasarkan Data World Bank (2020) menunjukkan untuk minyak inti sawit harganya cenderung naik turun pada bulan Juni 2020 sebesar US$725, bulan Juli menurun menjadi US$684, kemudian kembali meningkat pada bulan Agustus menjadi US$739.
Bila data harga dan permintaan sawit atau harga CPO di pasar internasional selama tahun 2020 dibandingkan dengan data selama tahun 2019 sebelum Covid-19 melanda dunia dan Indonesia masih lebih bagus tahun 2020. Harga sawit dan harga CPO di pasar internasional pada akhir tahun 2019 mencapai US$800 per ton. Artinya tahun 2019 atau awal munculnya pandemi Covid-19, harga menunjukkan penurunan yang signifikan. Namun, pada bulan Agustus 2020, harga sawit atau harga CPO di pasar internasional kembali mengalami peningkatan yakni US$700 per ton.
Selama tahun 2020 terjadi fluktuasi harga TBS, CPO dan kernel yang diyakini dampak dari kebijakan pembatasan yang dilakukan semua negara di dunia dengan alasan mencegah penyebaran pandemi Covid-19.
Akibat dari kebijakan pembatasan dilakukan semua negara, alasan pandemi Covid-19 membuat volume ekspor produksi minyak sawit pada semester I tahun 2020 mengalami penurunan. Namun, meskipun dengan volume ekspor mengalami penurunan akan tetapi harga rata-rata CPO masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga rata-rata tahun 2019.
Sesungguhnya turunnya volume ekspor karena adanya pembatasan ekspor dari berbagai negara akibat dampak Covid-19. Pembatasan ekspor dari berbagai negara itu terjadi karena adanya karantina wilayah sehingga mengurangi pasokan ekspor.
Bila dilihat untuk dalam negeri, selama masa pandemi Covid-19 permintaan sawit dan produk turunannya di pasar dalam negeri pada bulan Januari‒Juni tahun 2020 sebesar 8,6 juta ton, lebih tinggi dari tahun 2019 (y-on-y). Kondisi ini terjadi diakibatkan memang ketidakmampuan petani kelapa sawit mengembangkan industri hilir minyak sawit berdaya saing tinggi.
Hal yang menggembirakan semester I 2021 harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) melonjak tajam pada perdagangan sepanjang semester I-2021, harga CPO masih membukukan kenaikan meski terkoreksi dalam selama sebulan terakhir. Selama sebulan terakhir, harga komoditas ini ambles 8,46%. Namun pada paruh pertama 2021, harga masih naik 4,06% secara point-to-point.
Sesungguhnya kenaikan harga CPO ditopang kebijakan baru di India dimana India memperbolehkan impor produk olahan CPO (refined palm oil) selama enam bulan ke depan. Status impor diubah dari restricted menjadi free. (Dikutip dari Reuters).
Regulasi di India itu menguntungkan bagi Indonesia karena pungutan ekspor terhadap CPO lebih tinggi ketimbang produk olahannya. Untuk itu dunia usaha di Indonesia terdorong untuk mengolah CPO di dalam negeri. Alasannya karena diekspor dibebankan pungutan yang lebih kecil. Seiring dengan itu mendongkrak harga Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit bisa Rp2000 hingga Rp2500,- per kilogram.
Kemampuan petani kelapa sawit mengembangkan industri hilir minyak sawit berdaya saing tinggi sangat diharapkan karena permintaan minyak goreng terus meningkat hingga mencapai 725 ribu ton per bulan. Begitu juga produk oleokimia terus meningkat sebesar 115 ribu ton per bulan. Hal itu disebabkan meningkatnya kebutuhan sabun, bahan pembersih atau hand sanitizer pada saat pandemi Covid-19.
Hal yang sama juga adanya implementasi mandatori B-30, pengembangan produk baru berbahan dasar sawit seperti biodesinfektan, biosurfaktan produk, vitamin A dan E, serta virgin red palm oil.
Peluang dan Tantangan
Kondisi kelapa sawit Indonesia pada masa pandemi Covid-19 tidak mengalami banyak kendala. Artinya dampak dari pandemi Covid-19 tidak banyak berpengaruh. Namun, tantangan perdagangan minyak sawit Indonesia masih pada persaingan pasar dunia.
Persaingan pasar dunia ini harus bisa dimenangkan. Indonesia memiliki peluang besar untuk bisa memenangkannya. Peluang itu ada karena sawit Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.
Keunggulan komparatif dan kompetitif itu karena bila dibandingkan minyak nabati yang ada di dunia ternyata milik Indonbesia lebih unggul. Data menunjukkan produktivitas minyak sawit Indonesia lebih baik. Produksi minyak sawit Indonesia mencapai 4,27 ton per hektar. Produksi ini 10 kali lipat bila dibandingkan produktivitas minyak kedelai sebesar 0,4 ton per hektar. Minyak sawit Indonesia delapan kali lipat bila dibandingkan minyak bunga matahari sebesar 0,6 ton per hektar.
Dari segi nilai ekonomi, harga minyak sawit memiliki nilai keekonomisan yang baik bila dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Untuk itu minyak sawit menghadapi tantangan dalam perdagangan di pasar dunia.
Parameter keunggulan minyak sawit dengan minyak nabati lainnya menjadi peluang besar bagi kemajuan minyak sawit Indonesia. Tentu peluang besar itu harus diimplementasikan dengan meningkatkan kemampuan dalam semua sektor.
Peluang harus diraih, tantangan harus dijawab. Tantangan yang besar kemampuan menjaga daya saing minyak sawit. Hal ini bisa dilakukan dengan peningkatan produktivitas perkebunan sawit yang dikelola perkebunan perusahaan dan perkebunan sawit rakyat. Dimana saat ini hampir 44% dari total luas perkebunan sawit di Indonesia dikuasai perkebunan sawit rakyat.
Kemudian tantangan mengkampanyekan sawit Indonesia unggul, membantah, mengklarifikasi kampenye hitam tentang sawit Indonesia sehingga dapat meyakinkan dunia internasional bahwa minyak sawit Indonesia itu baik, unggul. Meyakinkan bahwa sawit Indonesia dari proses berkelanjutan atau sustainable dan ramah lingkungan.
Tantangan menjaga produktivitas sawit Indonesia dengan mengimplementasikan program peremajaan atau replanting perkebunan sawit rakyat. Terus meningkatkan pemanfaatan teknologi dan inovasi serta berkomitmen memproduksi minyak sawit secara berkelanjutan.
Secara regulasi sudah ada yakni adanya Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dengan payung hukum Perpres Nomor 44 Tahun 2020. Kemudian adanya sertifikasi ISPO secara internasional.
Untuk itu, Indonesia harus tetap melakukan kampanye positif tentang sawit Indonesia di dunia internasional dan tetap bersinerji dengan WTO sebagai sesama produsen minyak sawit dan mitra dagang. Disamping itu yang sudah baik terus dimantapkan yakni kebijakan pemerintah dalam penyerapan minyak sawit di Indonesia dengan menerapkan mandatori B-30, pengembangan biohidrokarbon untuk menghasilkan D100. Dengan demikian permintaan minyak sawit dalam negeri akan tetap tinggi. Semoga!
***
Penulis Direktur dan peneliti pada Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, pemerhati masalah sosial ekonomi pertanian.