Kelapa Sawit; Profit, Planet Dan People (3P)

Fadmin
Fadmin Malau

Oleh: Fadmin Malau                             

Persoalan kini ada 3,5 juta ha lahan kelapa sawit dalam kawasan hutan dan 78% adalah milik petani sawit. Hal yang tepat kelapa sawit yang ada di kawasan hutan itu dikeluarkan status lahannya dari lahan hutan menjadi lahan perkebunan. Dasarnya karena kelapa sawit tanaman perkebunan dan perlakuannya sudah perlakuan perkebunan dan mengantisipasi munculnya tanaman kelapa sawit di kawasan hutan.

Kondisi ini serius karena menentukan nasib dan masa depan petani kelapa sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Bila status lahannya diubah maka perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan itu bisa sebagai ekonomi masyarakat dan bisa berkelanjutan sehingga perkebunan sawit masih dapat diremajakan atau ikut Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Fakta yang ada tanaman kelapa sawit di kawasan hutan itu sebahagian besar bukan lagi kawasan hutan yang masih berhutan, tetapi hutan yang terdegrasi, kritis dan tidak produktif.

Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 8 dan 9 Tahun 2021 telah memuat regulasi terkait jangka benah, yaitu kegiatan menanam tanaman pohon kehutanan di sela tanaman kelapa sawit. Adapun jenis tanaman pokok kehutanan untuk Hutan Lindung dan Hutan Konservasi harus berupa pohon penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan dapat berupa pohon berkayu dan tidak boleh ditebang. 

Dalam peraturan tersebut diberlakukan larangan menanam sawit baru dan setelah selesai satu daur, maka lahan tersebut wajib kembali diserahkan kepada negara. Untuk kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan Hutan Produksi diatur diperbolehkan satu daur selama 25 tahun. Sedangkan yang berada di Hutan Lindung atau Hutan Konservasi hanya dibolehkan 1 daur selama 15 tahun sejak masa tanam dan akan dibongkar kemudian ditanami pohon setelah jangka benah berakhir.

Sementara definisi hutan secara internasional RED (2009) Daerah berhutan secara berkelanjutan didefinisikan sebagai lahan yang luasannya lebih dari satu hektar dengan pohon lebih tinggi dari 5 meter dan penutup tajuk lebih dari 30% atau pohon yang mampu mencapai ambang batas tersebut di alam setempat.

Kemudian FAO (COFO 2007) Hutan adalah suatu lahan dengan luasan lebih dari 0,5 hektar dengan pohon-pohon yang tingginya lebih dari 5 meter dengan penutupan tajuk lebih dari 10%, atau pohon-pohon yang dapat mencapai ambang batas tersebut di alam setempat.

Hutan ditentukan oleh keberadaan pohon-pohon dan tidak adanya pemanfaatan lahan lain. Pohon-pohon tersebut harus dapat mencapai ukuran minimum tinggi 5 meter seperti di habitat alamnya. Hutan meliputi areal dengan pohon-pohon muda yang belum mencapai tetapi diharapkan dapat mencapai pohon dengan tinggi 5 meter dengan penutupan tajuk 10%.

Gambaran tentang tanaman hutan di hutan, meskipun semua tanaman berasal dari tanaman hutan atau tanaman liar yang kemudian dibudidayakan sehingga menjadi tanaman perkebunan atau tanaman pertanian.

Tanaman Kelapa Sawit, secara bio-ekologis adalah tanaman hutan dan faktanya kelapa sawit memang berasal dari hutan tropis Nigeria. Kini ada wacana ingin menerapkan Strategi Jangka Benah (SJB) di perkebunan sawit. Tujuan wacana itu untuk perbaikan dari segi Profit, Planet dan People (3P).

Aspek 3P baik, tetapi ketiganya harus saling menyatu dan menguntungkan, tidak boleh hanya satu atau dua aspek saja, harus ketiga aspek mendapat porsi yang sama. Apa latarbelakang 3P diwacanakan dan ingin diimplementasi lewat SJB.

Mengubah status tanaman akan mengubah policy kebijakan terhadap tanaman tersebut. Bila status kelapa sawit tanaman hutan maka policy kehutanan akan diterapkan kepada tanaman kelapa sawit. Sama hal dengan Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan lainnya. Kemudian status lahan berubah dari perkebunan menjadi hutan yang mana regulasi berubah dari regulasi perkebunan menjadi regulasi kehutanan.

Perubahan status tanaman kelapa sawit apakah bisa menjawab tujuan dari keinginan menciptakan Profit, Planet dan People (3P).

Kajian status tanaman kelapa sawit secara bio-ekologis tanaman adalah tanaman hutan. Namun, ketika tanaman kelapa sawit dijadikan tanaman perkebunan ternyata kebun sawit tidak menyebabkan kekeringan. Artinya bio-ekologisnya tidak berubah. Hal itu ditandai dengan bahwa di perkebunan kelapa sawit masih bisa hidup berbagai flora dan fauna. Di Perkebunan kelapa sawit berbagai satwa liar seperti mamalia, burung, amfibi dan reptile bisa hidup normal. Kemudian juga di perkebunan kelapa sawit masih hidup anekaragam tanaman.

Tanaman kelapa sawit dari status tanaman hutan menjadi tanaman perkebunan ternyata tanaman kelapa sawit masih memiliki kemampuan penyerapan CO2 yang tinggi sehingga sama dengan tanaman komoditas kehutanan dan paling efisien dalam pemanfaatan radiasi matahari dibandingkan dengan tanaman komoditas kehutanan lainnya. Artinya satu dari tiga unsur 3P (Profit, Planet dan People) terpenuhi yakni planet.

Kemudian unsur Profit juga terpenuhi dimana Nilai Pendapatan Petani (NPP) kelapa sawit cenderung lebih baik dari tanaman kehutanan seperti Hutan Taman Rakyat (HTR) sehingga dalam kinerja finansial ekonomi dan sosial perkebunan kelapa sawit jauh mengungguli tanaman hutan. Begitu juga dengan profitabilitas per unit lahan, perkebunan kelapa sawit intensif memberikan opsi penggunaan lahan terbaik yang menjadi dasar pertimbangan petani.

Kondisi ini membuktikan perkebunan kelapa sawit bisa mengimplementasikan Profit, Planet dan People (3P) sebagaimana tujuan dari wacana ingin menjadikan tanaman kelapa sawit menjadi tanaman hutan.

Tegasnya tanaman kelapa sawit meskipun tanaman perkebunan akan tetapi secara bio-ekologi yakni kesesuaian lahan dan hidrologi, konservasi keanekaragaman hayati, iklim mikro, makro tidak berubah dari tanaman hutan.

Adapun yang harus diantisipasi pada segi tanaman monokultur yang dapat memengaruhi keseimbangan ekologis apa bila perkebunan kelapa sawit dilakukan dalam skala sangat luas. Hal ini juga belum terjadi di Indonesia karena perkebunan kelapa sawit tidak menyatu atau berfokus pada satu lokasi sangat luas. Untuk itu perlu diantisipasi dengan sistem jalur blok atau adanya penyanggah hutan dan tanaman lain selain kelapa sawit.

Mengembalikan Pada Fungsinya

Menentukan kawasan hutan yang mana kini banyak kawasan hutan yang belum jelas. Implementasi kawasan hutan harus sesuai dengan Pasal 1 angka 3 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Hutan tetap adalah kawasan hutan yang dipertahankan keberadaannya sebagai kawasan hutan, terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi (Pasal 1 angka 12 PP 10 tahun 2010; Pasal 1 angka 14 PP 104 tahun 2015; Pasal 1 angka 4 Perpres 88 tahun 2017) Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai kawasan hutan, terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi.

Tegasnya penetapan kawasan hutan harus sesuai dengan UU 41/1999 tentang Kehutanan yakni tatabatas, hak-hak pihak ketiga sehingga tidak menimbulkan komplik di lapangan. Hal yang harus menjadi pedoman dimana keputusan Mahkamah Konstitusi (MK): “Sebesar-besar kemakmuran rakyat-lah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.” Ada empat tolok ukur yaitu: (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.

UU 41/1999 tentang Kehutanan tegasnya untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, bila hal itu tidak terwujud maka ada yang keliru dari pelaksanaan dari Undang Undang tersebut dan kini kelapa sawit Indonesia harus bisa tumbuh dan berkembang untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

***

Penulis pemimpin redaksi EGINDO.co mantan dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan

Scroll to Top