Kebijakan Pemerintah Suntik Likuiditas Rp200 Triliun ke Perbankan: Peluang dan Tantangan

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kedua kiri) didampingi Wakil Menteri Suahasil Nazara (kiri), Wakil Menteri Thomas Djiwandono (kedua kanan), dan Wakil Menteri Anggito Abimanyu memberikan keterangan pers saat penyambutan di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (8/9/2025).
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kedua kiri) didampingi Wakil Menteri Suahasil Nazara (kiri), Wakil Menteri Thomas Djiwandono (kedua kanan), dan Wakil Menteri Anggito Abimanyu memberikan keterangan pers saat penyambutan di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (8/9/2025).

Jakarta|EGINDO.co  Pemerintah mengalihkan dana sebesar Rp200 triliun dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang semula disimpan di Bank Indonesia, ke lima bank Himbara, sebagai upaya memperluas likuiditas sektor perbankan. Kebijakan ini diumumkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada 10 September 2025.

Alokasi dana adalah sebagai berikut: BRI, BNI, dan Bank Mandiri masing-masing memperoleh Rp55 triliun; BTN Rp25 triliun; dan BSI Rp10 triliun. Penempatan dana dilakukan dengan bunga 4% dan bersifat deposito on call, artinya pemerintah dapat menarik kembali dana itu kapan saja.

Peluang

  1. Turunnya biaya dana (cost of fund)
    Dengan tambahan likuiditas ini, diharapkan biaya dana bank bisa ditekan, yang kemudian memungkinkan penurunan suku bunga kredit dan deposito.

  2. Ruang ekspansi kredit ke sektor riil
    Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa rasio pinjaman terhadap simpanan (Loan to Deposit Ratio / LDR) per Juli 2025 berada di angka 86,54 persen, menunjukkan bank-bank masih memiliki ruang untuk meningkatkan penyaluran kredit.

  3. Likuiditas bank yang relatif aman
    Berdasarkan data OJK, rasio Aset Likuid terhadap Non-Core Deposit (AL/NCD) mencapai sekitar 119,43 persen, dan rasio Aset Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sekitar 27,09 persen – keduanya jauh di atas batas minimal yang ditetapkan.

Tantangan dan Kekhawatiran

  1. Permintaan kredit yang masih rendah
    Bank mengaku kesulitan menyerap keseluruhan dana likuiditas karena dunia usaha maupun masyarakat belum menunjukkan permintaan kredit yang cukup tinggi. Sebagai contoh, terdapat bank yang mengatakan hanya mampu menyerap Rp7 triliun dari suntikan likuiditas tersebut.

  2. Risiko dana diparkir kembali di instrumen keuangan aman
    Ada kekhawatiran bahwa bank akan menggunakan dana ini untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) atau instrumen serupa, alih-alih menyalurkannya dalam bentuk kredit produktif. Jika demikian, efek pompa likuiditas ke sektor riil akan kurang maksimal.

  3. Perlunya regulasi dan pengawasan spesifik
    Beberapa pihak, termasuk ekonom dari Celios, menyarankan agar penggunaan dana diatur lewat regulasi seperti Peraturan Menteri Keuangan untuk memastikan dana diarahkan ke sektor produktif, mendukung transisi energi, dan tidak menimbulkan kredit macet.

Penilaian dari Pengawas dan Pengamat

  • OJK menyatakan bahwa meskipun likuiditas bank sudah kuat—ditunjukkan oleh rasio AL/NCD dan AL/DPK yang jauh di atas ambang batas—pertumbuhan kredit tetap tergantung pada permintaan dari sektor usaha, prospek ekonomi nasional, stabilitas politik dan keamanan, serta kualitas sumber daya manusia.

  • Ekonom dari Celios, Bhima Yudhistira, memperingatkan potensi penyimpangan jika dana digunakan untuk membiayai sektor fosil ketimbang energi terbarukan, serta mendesak agar ada regulasi yang menetapkan prioritas penggunaan dana.

Sumber: Bisnis.com/Sn

Scroll to Top