Karyawan Swasta Cemas Soal Hari Tua, Gugat Pajak Pensiun dan Pesangon ke MK

Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi

Jakarta | EGINDO.com – Karyawan swasta cemas soal Hari Tua, lakukan gugatan Pajak Pensiun dan Pesangon. Para penggugat Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) juncto Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang menyangkut pajak untuk pensiun dan pesangon memberikan catatan penutup dalam gugatan yang dilayangkan oleh sembilan orang karyawan swasta dengan nomor perkara 186/PUU-XXIII/2025 itu memberikan catatan penutup dalam permohonannya.

Disebutkan salah satunya adalah efek psikologis yang akan mereka alami jika aturan ini tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon mengatakan, pesangon, pensiun, dan jaminan hari tua (JHT) bukan sekadar angka fiskal, melainkan wujud nyata dari jerih payah, keringat, air mata, dan sisa tenaga para pekerja. “Kini, di usia senja, ketika tubuh semakin renta, tulang rapuh, penghasilan meredup, daya ingat melemah, dan tenaga tak lagi tersisa untuk menafkahi diri maupun keluarga, mereka hanya menggenggam tabungan terakhir itu sebagai penopang hidup,” tulis permohonan yang diregistrasi.

Mereka mengatakan, apabila hak yang sudah dikumpulkan hingga menjelang hari tua itu dipajaki lagi, negara seperti menarik remah kehidupan dari tangan rakyat kecil yang sudah gemetar. “Menjadikan hari tua mereka bukan sebagai masa istirahat yang damai, melainkan masa penuh cemas, takut, dan kekurangan,” tulis para pemohon.

Sebab itu, para pemohon menggugat beleid tersebut ke MK dan berharap Majelis Hakim MK bisa mengabulkan permohonan mereka. Para pemohon mengatakan, uji materi UU PPh juncto UU HPP itu tidak hanya untuk kepentingan mereka, melainkan untuk menegakkan konstitusi negara.

Adapun pasal yang digugat dan meminta agar Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang PPh yang telah direvisi lewat UU HPP yang mengambil pajak dari uang pensiun dan pesangon.

Bunyi pasalnya: Pasal 4. (1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

  1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
  2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
  3. laba usaha;
  4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan; dan 5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.

Dalam gugatannya, mereka juga meminta MK memerintahkan Pemerintah untuk tidak mengenakan pajak atas pensiun/pesangon/THT/JHT bagi seluruh rakyat Indonesia, baik pegawai pemerintah maupun pegawai swasta.@

 Bs/timEGINDO.com

Scroll to Top