Medan | EGINDO.com – Karya Hamzah Fansuri kini diakui UNESCO di Paris dan diseminarkan di Kota Subulussalam pada 11 April 2025 lalu syair-syair Hamzah Fansuri telah ditetapkan sebagai Memory of the World (MoW) oleh UNESCO di Paris, Prancis. Adapun penetapan itu atas usulan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Republik Indonesia dan Perpustakaan Negara Malaysia.
Panitia penyelenggara kegiatan mengundang ke Kota Subulussalam dua pakar, Prof Dr Oman Fathurrahman MHum (Guru Besar Filologi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Prof Kamaruzzaman Bustamam Ahmad MSh, PhD (Dekan Fakulltas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry) sebagai pemateri.
Seminar dihadiri 150 peserta dimoderatori Ramli Cibro. Panitia menyebut kegiatan tersebut sebagai dedikasi untuk Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf As-Singkily yang tumbuh di Tanah Singkel (Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam). Sebagaimana diketahui, Subulussalam dulunya bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, lalu mekar menjadi kota yang berdiri sendiri (otonom) pada 2 Januari 2007.

Kontribusi Hamzah Fansuri dalam kebudayaan intektual dunia Melayu sejak abad ke-16 Masehi memberikan warna baru bagi kawasan Asia Tenggara melalui syair, perkembangan bahasa, sufisme, dan filsafat Wujudiyah (unity of existence). Hal itu membawa dampak yang kuat dalam mendefinisikan kembali historiografi Asia Tenggara, lebih khususnya Indonesia. Kontribusi ilmu pengetahuan melalui manuskrip terbukti memunculkan poros baru dalam menulis ulang identitas sejarah Indonesia yang berbasis dari manuskrip.
Atas dasar pengakuan global UNESCO, komunitas Institute for Singkel Research on Adat and Culture (ISRAC) berinisiatif menyelenggarakan Seminar Filologi Nasional tentang
Turats Syekh Hamzah Fansuri: Budaya, Karya, dan Karsa pada Kamis (17/4/2025) lalu di Aula Setdakab Kota Subulussalam.
Turats sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya warisan. Istilah ini sering dihubungkan dengan kebudayaan dan peradaban. Turats merupakan sesuatu yang bernilai tinggi, khususnya berupa tulisan, karya sastra, dan pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Prof Dr Oman Fathurrahman dalam presentasenya menjelaskan bagaimana doktrin-doktrin Wahdat al-Wujud menyebar ke seantero Nusantara melalui Tarekat Syatariah yang khalifah utamanya adalah Syekh ‘Abd al-Ra’uf ibn ‘Ali al-Jawi al-Fansuri. Mengutip Feener dan Michael Laffan, al-Jawi sendiri adalah terminologi Arab yang disematkan kepada Asia Tenggara yang tertulis dalam Kitab ‘Tabaqat al-Khawass’ yang ditulis oleh Shihab al-Din Ahmad al-Sharji (1410-1478) dan As-Singkily adalah Tanah Singkel itu sendiri. “Bahkan, Indonesia berutang besar kepada Tarekat Syatariah dalam mendefinisikan Nusantara,” kata Profesor Oman Fathurrahman, peraih Habibie Prize tahun 2023.
Melalui penelusururan Profesor Oman, Tarekat Syatariyah menyebar ke Sumatra melalui murid Syekh Abdurrauf as-Singkily, yaitu Syekh Burhanuddin Ulakan (berasal dari Sumatera Barat), sedangkan ke Pulau Jawa disebarkan oleh Syekh Abdul Muhyi (1730 M) di daerah Sparwadi, Pamijahan, Tasikmalaya, dan Jawa Barat. Nantinya, tarekat ini menjadi ideologi dari Aceh. Kesultanan Cirebon mergadopsinya melalui Ratu Fatimah, sedangkan Kesultanan Yogyakarta melalui Kanjeng Ratu Kadospaten sampai Buton.
Sedangkan Profesor Kamaruzzaman Bustamam Ahmad mengutarakan bagaimana kemudian kosmologi lokal di Aceh, khususnya di Tanah Singkel, tidak mendapatkan gema yang cukup untuk menunjukkan kebesaran sosok Hamzah Fansuri. “Secara geopolitik, Aceh begitu penting di masa lalu dan di masa sekarang,” kata Kamaruzzaman Bustamam Ahmad profesor yang akrab disapa dengan KBA. Namun, apa yang disebut oleh Prof KBA sebagai ‘keberkahan kosmologi’ mulai memudar. Bahwa kehilangan gelombang kesadaran masyarakat zaman kiwari akan kosmologi lokal yang bersumber dari alam dan sejarah yang menaungi para aulia di Aceh juga ikut luntur bersamaan dengan kondisi geografis yang mulai mempersempit kesadaran kultural dan sejarah.
Kegiatan ‘Turats Syekh Hamzah Fansuri: Budaya, Karya dan Karsa’, sebagaimana pemaparan Prof Oman dan Prof KBA menjadi pertanda baru bahwa munculnya kesadaran kosmologi dan keinginan untuk meredefiniskan kembali historiografi sejarah Indonesia.
Seminar nasional itu terselenggara atas kolaborasi empat lembaga: Kementerian Kebudayaan RI, Dana Indonesiana, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan RI, dan ISRAC selaku tuan rumah. Kegiatan tidak hanya didukung oleh pembahasan manuskrip dan kosmologi oleh dua pakar, melainkan juga adanya eksibisi lukisan dari pelukis asli tanah Singkel, M Yasir.
Dalam seminar nasional itu Yasir memamerkan lukisannya berupa rekaan wajah Syekh Hamzah Fansuri sebagai respons untuk “menghidupkan” kembali citra Sykeh Hamzah Fansuri, paman dari Abdurrauf As-Singkily atau Syiah Kuala dalam pikiran masyarakat Subukussalam dan Aceh Singkil.@
Bs/timEGINDO.com