Karhutla di Kawasan Danau Toba: Masyarakat Disalahkan, Negara ke Mana?

Kebakaran Hutan dan Lahan di Kawasan Perbukitan Danau Toba
Kebakaran Hutan dan Lahan di Kawasan Perbukitan Danau Toba

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si

Narasi Resmi yang Menyederhanakan Masalah. Dalam pernyataannya pada 19 Juli 2025, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menyebut bahwa penyebab utama kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di wilayahnya—termasuk kawasan Danau Toba—adalah kombinasi musim kemarau panjang dan kebiasaan masyarakat membuka lahan dengan cara membakar. Narasi seperti ini, meski sering diulang oleh pejabat, justru menyederhanakan persoalan yang kompleks dan berpotensi menutupi akar masalah struktural yang lebih mendalam.

Padahal, data BMKG menunjukkan bahwa 2024–2025 adalah periode dengan anomali suhu tertinggi sejak 1981, dengan deviasi mencapai +1,68°C. Tingginya suhu ini memperbesar risiko kebakaran dan mempercepat penyebaran api di lahan semak dan ilalang. Namun, fakta lingkungan ini tidak cukup diimbangi dengan kesiapsiagaan sistemik oleh pemerintah daerah. Jika narasi ini tidak dikritisi secara menyeluruh, maka yang terjadi bukan hanya kesalahan penanganan, tetapi juga pengalihan tanggung jawab dari negara kepada masyarakat—terutama masyarakat adat dan lokal yang selama ini hidup berdampingan dengan alam.

Geopark Bukan Sekadar Label: Tanggung Jawab Harus Diemban

Danau Toba bukan kawasan biasa. Ia adalah bagian dari Toba Caldera UNESCO Global Geopark (TCUGGp) yang mengemban prinsip perlindungan bumi dan kesejahteraan masyarakat. Dalam geopark, konservasi dan pemberdayaan berbasis komunitas bukanlah pilihan, melainkan kewajiban. Kebakaran yang terus terjadi menunjukkan ketidaksesuaian antara status internasional kawasan dengan tata kelola di lapangan. Pernyataan gubernur yang menyalahkan masyarakat justru mengabaikan tanggung jawab struktural pemerintah daerah dan pusat dalam melindungi kawasan strategis ini. Di mana sistem mitigasi? Di mana keterlibatan aktif masyarakat yang semestinya menjadi mitra negara?

Ironisnya, lokasi kebakaran justru mencakup wilayah-wilayah prioritas geowisata seperti Menara Pandang Tele, Tongging, dan Pusuk Buhit, yang memiliki nilai budaya dan ekologis tinggi. Ini memperjelas bahwa kawasan yang seharusnya mendapat perlindungan ekstra justru paling rentan dan diabaikan.

Rekayasa Cuaca Menjelang Revalidasi: Langkah Reaktif yang Kosmetik

Menjelang revalidasi Toba Caldera oleh UNESCO pada 21–25 Juli 2025, pemerintah menggelar rekayasa cuaca untuk menurunkan hujan buatan dan memadamkan titik api. Langkah ini, meski berguna secara teknis, mencerminkan pendekatan reaktif dan penuh kepentingan pencitraan.

Modifikasi cuaca dimulai hanya dua minggu sebelum kunjungan tim revalidasi UNESCO, padahal sejak awal Juni telah tercatat 80 kejadian karhutla di Sumut, dan 40 di antaranya berada di kawasan Danau Toba. Langkah ini terkesan sebagai upaya “pemolesan darurat”, bukan hasil strategi mitigasi yang konsisten. Lebih dari itu, patut dipertanyakan keabsahan dokumen revalidasi yang disubmit ke UNESCO pada Februari 2025. Apakah isi dokumen tersebut mencerminkan keadaan nyata di lapangan? Ataukah hanya “on paper” tetapi tidak “on site”? Pertanyaan ini penting, agar status UNESCO Geopark tidak sekadar prestise administratif yang menutupi luka ekologis di bawahnya.

Kewajiban Negara yang Diatur Hukum, Namun Tak Dilaksanakan Optimal

Berbagai regulasi sebenarnya telah jelas mengatur tanggung jawab negara dalam pencegahan dan penanggulangan karhutla:

  • UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana
  • PP No. 45/2004 tentang Perlindungan Hutan
  • Inpres No. 3/2020 tentang Penanggulangan Karhutla

Kewajiban tersebut meliputi:

  • Sistem peringatan dini
  • Edukasi dan pelibatan masyarakat
  • Infrastruktur pemadam
  • Pemulihan lingkungan

Namun fakta di lapangan berkata lain: Antara 1 Juni hingga 13 Juli 2025, tercatat 1.804,95 hektare lahan terbakar di Sumatera Utara—dan setengahnya terjadi di kawasan Danau Toba. Di Kabupaten Toba, 235 hektare terbakar hanya dalam tiga hari: 13, 17, dan 19 Juli.

Status Siaga Darurat dan Titik Api yang Tak Kunjung Padam Per 20 Juli 2025, status siaga darurat karhutla ditetapkan di tujuh kabupaten, termasuk Toba, Samosir, dan Humbang Hasundutan. Namun hingga kini, titik api di kawasan Dolok Tolong (Balige) masih belum berhasil dipadamkan. Lebih memprihatinkan lagi, pembakaran liar masih terus terjadi di lereng Gunung Pusuk Buhit, tepatnya di wilayah Sitao Tao Sijambur, dan dapat disaksikan langsung oleh masyarakat. Ini mencerminkan kegagalan negara dalam pengawasan, edukasi, dan respons tanggap darurat.

Bahaya Narasi Simplistik: Masyarakat Dijadikan Tumbal

Pernyataan bahwa masyarakat penyebab utama karhutla membawa tiga bahaya besar:

  1. Stigmatisasi terhadap masyarakat lokal dan adat, yang justru selama ini menjaga alam.
  2. Pengaburan peran korporasi dan elit ekonomi yang diduga juga memiliki kepentingan di kawasan.
  3. Pengaburan faktor struktural, seperti lemahnya pengawasan, tumpang tindih kebijakan, dan buruknya tata ruang.

Sebagian titik api berada di area konsesi perusahaan kehutanan dan pertanian besar, meski belum ada penegakan hukum tegas. Narasi menyalahkan warga seolah menjadi “tameng politik” yang mengalihkan sorotan dari akar masalah.

Belajar dari Geopark Dunia: Solusi Bukan Tuduhan

Praktik baik dari geopark dunia menunjukkan pendekatan berbasis komunitas dan teknologi:

  • Langkawi (Malaysia): Community Rangers, sensor suhu, insentif desa bebas api
  • M’Goun (Maroko): Sekolah ekologi, larangan pembakaran, lanskap adaptif
  • Arouca (Portugal): Drone pemetaan risiko, zonasi agroforestri, larangan saat cuaca ekstrem

Model-model ini terbukti berhasil karena melibatkan masyarakat sebagai subjek, bukan objek. Sementara di Danau Toba, warga hanya dilibatkan secara formalitas tanpa akses terhadap data, kebijakan, atau kompensasi ekonomi.

Rekomendasi: Dari Retorika ke Perubahan Nyata

  1. Reformulasi Narasi Pemerintah
    • Berdasarkan data ilmiah
    • Tidak menyalahkan masyarakat secara sepihak
  2. Audit Tata Kelola Kawasan
    • Evaluasi izin dan praktik ekonomi
    • Libatkan lembaga independen
  3. Mitigasi Berbasis Komunitas
    • Sistem peringatan dini
    • Pelatihan dan insentif penjaga lokal
  4. Penegakan Hukum Berkeadilan
    • Tindak pelaku, termasuk korporasi
    • Awasi manipulasi penggunaan lahan
  5. Restorasi Ekologis Pascakebakaran
    • Libatkan masyarakat lokal
    • Fokus jangka panjang, bukan proyek pencitraan
  6. Adopsi Praktik Internasional
    • Terapkan pendekatan Langkawi, M’Goun, Arouca sesuai konteks lokal

Penutup: Jangan Jadikan Rakyat Tersangka Tetap, Sementara Negara Absen. Kebakaran hutan di kawasan Danau Toba bukan sekadar peristiwa ekologis. Ia adalah refleksi kegagalan negara, baik dalam aspek pencegahan, pengawasan, maupun pengelolaan kawasan strategis.

Sementara masyarakat lokal terus disalahkan, pemerintah justru abai dalam menyiapkan infrastruktur tanggap darurat, edukasi masyarakat, dan pemulihan kawasan. Geopark tidak seharusnya hanya simbol di atas kertas, tetapi sistem hidup yang berpihak pada bumi dan manusianya. Harus diingat Karhutla di Danau Toba bukan sekadar asap. Ia adalah alarm keras bagi negara untuk hadir, bertanggung jawab, dan berbenah.@

***

Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia / Penggiat Lingkungan

Scroll to Top