Jepang Masuk, Usaha Eka Tjipta Widjaja Mulai Berkembang

Perjanjian Kalijati antara Jepang dan Belanda, awal pendudukan Jepang di Indonesia (Sumber: Foto Japan Photo Library)
Perjanjian Kalijati antara Jepang dan Belanda, awal pendudukan Jepang di Indonesia (Sumber: Foto Japan Photo Library)

Mengenang Lima Tahun Meninggalnya Eka Tjipta Widjaja

Oleh: Fadmin Malau

LANGKAH, rejeki, pertemuan dan maut ada di tangan Tuhan, manusia tidak berkuasa atas keempat hal itu. Langkah, perjalanan hidup manusia, rejeki dari Tuhan berkat kerja keras dari manusia itu sendiri. Pertemuan tidak ada yang bisa memprediksinya, manusia hanya bisa berencana akan tetapi Tuhan yang menentukannya. Terakhir begitu juga dengan maut, tidak ada manusia yang berkuasa atas hal itu, semua ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Eka Tjipta Widjaja terus berusaha, pantang menyerah dan usahanya terus berkembang. Keyakinannya akan rejeki dari Tuhan dan pertemanan, relasi adalah jalan menuju sukses meraih rejeki. Menurut Eka Tjipta Widjaja, sepasang cincin berbatu zamrud melingkar di dua jari telunjuknya. Katanya warna Hijau di telunjuk kanan dan warna merah di telunjuk kiri. Hijau lambang banyak relasi, sedangkan merah tanda murah rezeki.

Kata Eka Tjipta Widjaja semasa muda, dirinya hanya memakai cincin zamrud hijau. Suatu hari seorang teman menyarankannya untuk juga memakai cincin merah. Tujuannya agar mengimbangi aura cincin hijau. Temannya seorang ahli batu dan Eka Tjipta Widjaja percaya dengan saran temannya. “Maka saya pakai dua cincin berbatu zamrud ini, yang satu untuk hoki, yang lain buat sosial,” kata Eka Tjipta Widjaja pada suatu hari dalam tahun 1989 di ruang kerjanya, Gedung Bank International Indonesia (BII), Jakarta, dikutip yang dilansir dalam majalah Eksekutif, edisi terbitan Mei 1989.

Memang keputusan Eka Tjipta Widjaja semakin kokoh untuk tidak meneruskan pendidikan formal setamat dari Sekolah Dasar, bertarung dengan bisnis berjualan menjaga toko kecil sederhana milik Oei Tjek Tjai, ayahnya. Setamat SD, Eka Tjipta Widjaja mendatangi grosir. Eka Tjipta Widjaja ingin meminjam empat kaleng biskuit untuk dijual akan tetapi dibayar setelah biskuit laku terjual.

Baca Juga :  Hari Ini Cap Go Meh, Lima Belas Hari Bulan, Purnama

Tantangan datang menghadang, keinginan Eka Tjipta Widjaja terhalang. Tidak ada yang mau memberinya biskuit. Alasannya karena dinilai masih anak-anak akan tetapi Eka Tjipta Widjaja tidak menyerah begitu saja. Dalam hatinya dinilai karena masih kanak-kanak diberikannya jaminan. Eka Tjipta Widjaja menyerahkan ijazah SD-nya sebagai jaminan untuk mendapatkan 4 kaleng biskuit. Toko yang memberi 4 kaleng biskuit dengan jaminan ijazah SD-nya itu bernama toko Ming Heng. “Saya ingat betul dari toko Ming Heng. Habis dalam dua hari. Uang pun disetor untuk ambil yang baru. Lama-lama ambil enam kaleng. Ijazah dikembalikan,” kata Eka Tjipta Widjaja seperti dikutip dari majalah Eksekutif, edisi terbitan Mei 1989.

Dengan dikembalikannya ijazah SD Eka Tjipta Widjaja maka dirinya sudah mendapat kepercayaan penuh. Lantas, Eka Tjipta Widjaja bisa membeli sepeda. Alasannya dengan bersepeda bisa mengangkut enam kaleng biskuit. Omsetnya tidak pernah lagi naik sebab kapasitas sepeda hanya terbatas enam kaleng biskuit. Ketika omsetnya naik lagi Eka Tjipta Widjaja membeli becak bekas yang tidak ada joknya khusus untuk mengangkut biskuit. Becak dapat mengangkut delapan belas kaleng biskuit.

Dari hasil berjualan biskuit itu Eka Tjipta Widjaja bisa mengumpulkan tabungan 2.500 Gulden dan meminta ijin kepada ayahnya untuk memperbaiki rumah mereka dengan biaya 1.000 Gulden. Dinding bambu rumah diganti dengan kayu, atap daun rumah diganti seng. Rumah orangtua Eka Tjipta Widaja menjadi bagus, tidak lagi sangat sangat sederhana akan tetapi sudah menjadi rumah sederhana kala itu. Eka Tjipta Widjaja sangat senang sebab inpiannya bisa terwujud, memperbaiki rumah orangtuanya, membayar utang-utang orangtuanya dan yang paling menyenangkan hatinya masih memiliki tabungan sebanyak 1.500 Gulden.

Baca Juga :  Bila Tidak Ada Korma, Berbuka Puasa dengan Air Putih

Dari sisa uang yang dimilikinya, ada sebanyak 1.500 Gulden muncul keinginan Eka Tjipta Widjaja ingin melanjutkan pendidikannya. Dirinya ingin bersekolah seperti teman-teman sebayanya. Namun, kala itu Eka Tjipta Widjaja berkeinginan bersekolah ke luar negeri, bukan di Indonesia, impiannya ingin bersekolah di Hong Kong. Pemerintahan Belanda masih berkuasa di Indonesia. Namun, tentara Jepang masuk ke Indonesia. Awal kedatangan Jepang ke Indonesia berawal dari keinginan Jepang untuk mendirikan Persemakmuran Asia Timur Raya. Untuk itu Jepang menunjukkan kehebatannya dengan serangan Jepang ke pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, Kepulauan Hawaii pada 8 Desember 1941. Tujuan Jepang ingin menaklukkan Asia Pasifik maka masuklah ke Indonesia.

Mengutip penjelasan dari Kementerian pendidikan kebudayaan (Kemdikbud) adanya perpindahan tangan atau kekuasaan penjajahan atas Indonesia dari Belanda kepada Jepang disepakati dalam perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan kekuasaan itu, disebutkan Jepang menarik hati rakyat Indonesia. Alasannya Jepang ingin menggunakan data-data intelijen untuk membuat propaganda yang bisa menarik simpati rakyat. Kedatangan Jepang disambut baik rakyat Indonesia karena berpikir Jepang sudah berhasil mengusir Sekutu. Rakyat Indonesia menilai Belanda atau sekutu membuat rakyat Indonesia sengsara.

Baca Juga :  Puasa Enam Bulan Syawal, Menyehatkan Tubuh

Disamping itu Jepang melakukan propaganda menunjukkan simpati Jepang terhadap rakyat Indonesia. Kehadiran tentara Jepang dinilai memberi harapan baru bagi kehidupan rakyat Indonesia. Secara emosional rakyat Indonesia senang sebab Jepang mengaku sebagai Hakko Ichiu, yakni saudara tuanya adalah Indonesia. Dalam aksinya Jepang melakukan Gerakan 3A yakni Jepang cahaya Asia, Jepang pemimpin Asia, dan Jepang pelindung Asia. Jelas aksi itu membuat sebahagian besar rakyat Indonesia percaya. Rakyat Indonesia yakin dengan kekuatan Jepang dapat menjadi penolong bagi Asia umumnya dan khususnya bagi Indonesia. Rakyat Indonesia semakin percaya, yakin dan senang ketika Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso, pada 7 September 1949, menjanjikan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia.

Jepang memberi simpati terhadap seluruh pergerakan yang dilakukan oleh Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Rakyat Indonesia merasa terlepas dari segala aturan yang membatasi kebebasan, muncul rasa kemerdekaan bagi rakyat Indonesia. Faktanya Jepang mengizinkan mempergunakan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari dan Jepang juga mengakui bendera Indonesia yakni bendera Merah Putih sehingga membuat rakyat Indonesia sangat senang. Ternyata bukan saja rakyat Indonesia yang senang dan percaya kepada Jepang akan tetapi juga para tokoh Indonesia kala itu.

Para tokoh Indonesia yang senang dengan sikap Jepang  seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Suwardi Suryaningrat dan lainnya meskipun beberapa tokoh Indonesia belum percaya dengan kedatangan Jepang ke Indonesia seperti Sam Ratulangi, Moh. Husni Thamrin dan Soetarjo. (BERSAMBUNG besok bagian ketujuh)

Bagikan :
Scroll to Top