Oleh: Dr. Shohibul Anshor Siregar, M.Si
Saya berharap rakyat Indonesia tidak terpengaruh polemik Mahfud MD vs Sri Mulyani dalam kaitan korupsi di Indonesia yang belakangan ini terungkap secara tak sengaja (by accident) dari internal Kementerian Keuangan. Polemik itu akan berhenti dengan sendirinya tanpa hasil sesuai perjanalan waktu. Karena dipastikan bahwa dalam polemik yang viral ini sama sekali tidak ada niat bersifat kelembagaan, yang serius, untuk menolong Indonesia dari bahaya terpaan korupsi.
Korupsi di Indonesia makin marak. Salah satu penjelasan yang baik tentang itu ialah fakta-fakta yang pernah dibeberkan secara umum oleh Mahfud MD sendiri pada sebuah forum (ILC), jauh-jauh hari sebelum ini.
Maka jika hari ini muncul data baru yang mencerminkan besaran korupsi di Indonesia sebagaimana beroleh atensi nasional, sebagaimana terungkap by accident dari kalangan internal Kementerian Keuangan, keadaan itu sangat tepat dijadikan sebagai ukuran bahwa semua institusi pemerintahan mulai dari pusat sampai ke ujung pemerintahan di lingkungan atau dusun.
Ketika itu Mahfud MD berusaha membandingkan data era Soeharto yang karena tuduhan KKN dijatuhkan dengan sebuah gerakan. Setelah memberi data perbandingan, ia pun menyerukan sebuah penyesalan, karena menurutnya KKN itu justru semakin marak pada era pasca Soeharto.
Pada era Soeharto, kata Mahfud MD, mungkin pelaku hanya terbatas pada satu partai, namun setelah itu semua partai sudah terlibat korupsi. Ia mengancam dapat menyebutkan nama-nama dan dari partai mana saja yang kini sudah sama-sama suka dan melakukan korupsi.
Jika percaya data Indeks Persepsi Korupsi yang dibuat oleh Lembaga internasional, data semakin maraknya korupsi itu pun terkonfirmasi. Apa penyebab keadaan yang semakin buruk ini? Pertama, pertumbuhan kualitas dan kuantitas korupsi di Indonesia itu tidak beroleh tantangan dan hambatan dari semua lembaga penegakan hukum, baik konvensional seperti kepolisian dan kejaksaan maupun non-konvensional seperti KPK.
Kedua, juga tak beroleh tantangan dari sivil society, baik melalui organisasi yang mereka dirikan dengan narasi visi dan misi formal yang begitu tegas.
Ketiga, rakyat jelata mungkin saja sangat tahu dan sangat merasakan dampak korupsi, namun mereka terancam berbenturan sesame atas nama polarisasi besar nasional Cebong dan Kampret.
Kita tahu baik Cebong maupun Kampret sama-sama beroleh “sogokan” special bernama BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan jenis-jenis penyaluran dana lainnya baik melalui kementerian mau pun melalui jejaring kepartaian yang terkucur setiap reses anggota parpol di legislative nasional dan daerah.
Dengan demikian, adalah sesuatu yang cukup mengejutkan jika Mahfud MD tiba-tiba terlihat seakan membongkar praktik korupsi di Kementerian Keuangan justru karena isyu kecil yang merembet ke isyu hedonisme para aparatur di lingkungan kementerian itu. Lebih mengejutkan lagi Mahfud MD itu terlihat telah ingin segera berhenti pada etape yang tak semestinya.
Apa Manfaat Dokumen LHKPN?
Jika Mahfud MD dalam kapsitasnya sebagai Menko Polhukam diajak bekerja lebih sistematis melawan korupsi di Indonesia, mestinya ia harus mempertimbangkan dari mana harus memulai. Disarankan ia bergerak dengan memulai bukan dari simptoma yang muncul secara sporadis, melainkan (seharusnya) memulai dari data Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).
Tentu ia sendiri sebagai pemegang inisiatif polemic viral inilah yang terlebih dahulu harus membuktikan semua harta kekayaannya dapat ia pertanggung jawabkan asal-usulnya dan tak sepeser pun berasal dari tindak pidana korupsi.
Ini akan sekaligus menjadi rekomendasi kebijakan kepada KPK agar, sebagaimana dikeluhkan oleh Menko Marvest LB Panjaitan yang gerah atas kinerja KPK yang lebih mengedepankan operasi tangkap tangan atau semisalnya, agar memulai Gerakan dari data LHKPN.
Korupsi itu tak pernah dimulai dari petugas negara terkecil, melainkan sebaliknya. Karena itu secara terbuka KPK harus berusaha meyakinkan Presiden bahwa pembuktian data LHKPN beliau sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum menyeser ke semua pejabat di sekitar beliau.
Rakyat tak boleh merasa beroleh keterangan yang kurang meyakinkan tentang pembuktian harta kekayaan pejabat negara, karena itu dalam melakukan pekerjaan pembuktian data LHKPN semua pejabat negara itu, prinsip objektivitas dan keterbukaan harus dikedepankan.
Kasus yang terjadi di lingkungan Kementerian Keuangan tidak dibongkar oleh siapa pun, melainkan muncul begitu saja (by accident). Padahal diketahui bahwa dana yang diambil dari APBN untuk reformasi birokrasi pada kementerian ini sangat besar. Karena itu adalah benar jika disimpulkan bahwa data yang kini terblow up dan viral hanyalah fenomena puncak gunung es. Korupsi di Indonesia sangat parah.
Seruan Para Pengeritik
Saya sangat setuju adanya tokoh tertentu yang seakan menyerukan jangan bayar pajak jika pihak pengutip pajak sendiri tidak menunjukkan integritas. Lebih banyak tokoh nasional yang berbicara seperti ini akan lebih baik bagi Indonesia.
Apakah tidak akan berdampak bagi keuangan negara? Tentu saja. Tetapi penyelewengan pajak oleh pihak internal yang diberi Amanah untuk pengutipan dan pengadministrasiannya jauh lebih berbahaya ketimbang pembangkangan rakyat (tak mau membayar pajak).@
***
Shohibul Anshor Siregar adalah Dosen FISIP UMSU Medan. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS). Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumatera Utara.