Jakarta | EGINDO.co – Agaknya mulai terkuak apa yang selama ini menjadi kekhawatiran kepolisian seandainya kompetisi Liga 1 Indonesia bergulir lagi yang menurut PSSI bisa dimulai 11 Juni nanti.
Bukan karena tidak percaya kepada PSSI atau otoritas liga, atau kepada klub, pelatih, dan pemain.
Polisi tampaknya hanya belum yakin penonton sepak bola tidak akan berkerumun saat kompetisi liga sepak bola profesional negeri ini dimainkan kembali, baik di sekitar stadion maupun di tempat di mana nonton bareng (nobar) mungkin diadakan.
Ini pula yang disinggung langsung oleh Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan beberapa hari lalu setelah bertemu Polri.
Iriawan menyebut suporter menjadi bagian yang sangat diperhatikan dalam konteks pemberian izin dari Polri untuk menggelar kembali liga yang kemungkinan besar diadakan tanpa penonton.
Iriawan sampai memohon dengan sangat agar suporter tidak nobar pertandingan liga Indonesia jika para pemain Liga 1 dan 2 bermain lagi, selain tentu saja meminta tidak mendatangi stadion.
Kepada polisi, PSSI dan otoritas liga sudah memaparkan rencana kompetisi dan turnamen di tengah pandemi yang akan dikawal oleh protokol kesehatan yang ketat seperti terjadi di banyak negara yang menggelar kompetisi di tengah pandemi.
Namun Polri sepertinya belum bisa memutuskan untuk memberikan izin karena pertimbangan kemungkinan terciptanya kerumunan di luar stadion yang sejauh ini tak ada yang bisa menjamin tak akan terjadi.
Begitu sentralnya soal kerumunan ini tergambar dari pernyataan Iriawan yang menyatakan izin kompetisi akan ditarik seandainya polisi mendapati kerumunan penonton baik di sekitar stadion maupun karena nobar.
Polisi memiliki alasan kuat untuk menekankan pentingnya klausa tidak menciptakan kerumunan saat liga bergulir kembali.
Bukan saja karena polisi sudah memahami betul perangai pendukung sepak bola Indonesia, namun juga karena rekomendasi kesehatan menyebutkan salah satu langkah penting dalam membendung penularan COVID-19 adalah menghindari kerumunan.
Tak ada jaminan
Berbagai penelitian telah memperkuat rekomendasi itu, bahwa mengurangi dan tidak menciptakan kerumunan berpengaruh sangat besar terhadap tingkat penularan COVID-19.
Sebuah model yang dibuat oleh Universitas Standord di Amerika Serikat pada November 2020 misalnya, menyebutkan bahwa tempat-tempat padat kalau ditekan sampai hanya 20 persen dari kapasitasnya bisa mengurasi resiko terpapar COVID-19 sampai 80 persen. Bayangkan, kalau bukan hanya, melainkan sama sekali tidak menciptakan kerumunan. Mungkin efeknya jauh lebih besar lagi.
Tak heran di negara mana pun kerumunan selalu dihindari karena menjadi sumber yang mempercepat penularan COVID-19.
Kalau sampai kerumunan dibiarkan tercipta, maka itu sama saja dengan membuat negara ini kian sulit membendung COVID-19, apalagi angka infeksi COVID-19 di Indonesia terbilang tinggi dan kini sudah melewati angka 1.200.000 kasus. Demikian pula angka kematian akibat penyakit ini.
Polisi bisa saja berkaca dari pengalaman mereka bahwa betapa sulitnya mengendalikan penonton sepak bola negeri ini yang tidak saja fanatik tetapi juga bisa melakukan apa pun demi tim kesayangannya.
Bahkan mereka melakukan hal-hal nekad seperti menghilangkan nyawa orang lain hanya karena berbeda klub atau merusak properti masyarakat hanya karena melihat simbol yang dianggap melekat atau dianggap berasosiasi dengan klub lawannya, seperti plat nomor mobil.
Oleh karena itu tak mengherankan jika polisi terlihat agak skeptis mengenai asumsi tidak akan tercipta kerumunan dan nobar ketika kompetisi dilanjutkan suatu saat nanti.
Pandangan ini diperburuk oleh tiadanya jaminan dari komunitas sepak bola dan pembuat kebijakan, khususnya pemerintahan daerah, bahwa kerumunan dan nobar tak akan terjadi ketika kompetisi digulirkan kembali.
Sayang, pemerintah daerah yang kebanyakan di antaranya terkait dengan klub-klub liga sepak bola Indonesia dan juga terhubung kuat dengan kelompok suporter sepak bola tak begitu proaktif dalam memastikan kerumunan tak terjadi.
Padahal dengan kekuasaannya dalam membuat dan menjalankan peraturan di daerahnya masing-masing, mereka bisa mengendalikan suporter sepak bola untuk tidak menciptakan kerumunan dan nobar di daerahnya, selain menggelar aktivitas seperti pawai kemenangan.
Di beberapa negara seperti Australia, pemerintah daerah proaktif mengambil langkah. Negara bagian Victoria misalnya, berperan besar dalam memastikan Australia Terbuka 2021 tidak menciptakan klaster penyebaran COVID-19. Sampai kemudian ketika muncul kasus baru, pemerintah Victoria langsung mencabut keputusan membolehkan penonton menyaksikan turnamen Grand Slam ini.
Mengandalkan kelompok suporter juga tidak terlalu realistis karena mereka memiliki keterbatasan seperti dialami The Jakmania misalnya.
Ketua umumnya, Diky Budi Ramadhan, kepada ANTARA, mengatakan siap mematuhi protokol kesehatan pada saat kompetisi berlanjut kembali suatu ketika, namun kelompok pendukung Persija Jakarta ini tak kuasa melarang nobar.
Semua menang
Diky mengatakan, “untuk nobar, kami mengembalikan ke daerah masing-masing.” Tapi memang kelompok seperti The Jakmania hanya bisa menghimbau, tak punya otoritas sehingga tak bisa memaksa.
Dan kalau sudah urusan memaksa orang tunduk, maka pastinya ini sudah wilayah mereka yang memiliki kekuatan memaksa masyarakat agar tunduk. Ini wilayah mereka yang bisa membuat dan menerapkan aturan, entah melalui Perda, Pergub atau Perbup, atau lainnya. Dengan cara ini polisi menjadi memiliki pegangan untuk memastikan nobar dan kerumunan tak terjadi.
Jadi tak ada salahnya jika pemerintah daerah didorong untuk proaktif membuat ketentuan guna memastikan kerumunan tak tercipta, apalagi daerah juga berkepentingan dalam membendung penyebaran virus corona.
Walaupun kompetisi nanti dipusatkan di beberapa tempat seperti sudah direncanakan otoritas liga, penggemar sepak bola itu tidak terpusat di beberapa tempat, melainkan tersebar di semua daerah sampai kampung-kampung sehingga nobar bisa terjadi di mana saja.
Tentu saja ada diskresi untuk aktivitas-aktivitas tertentu, seperti kegiatan ibadah atau aktivitas lain yang mengharuskan orang berada di luar rumah.
Kekecualian seperti itu selalu ada. Inggris misalnya, ketika menerapkan lagi lockdown Januari lalu, pemerintah mereka memberikan kekecualian kepada sejumlah kegiatan termasuk kompetisi Liga Inggris yang kali ini digolongkan kegiatan esensial.
Tapi tanpa aturan daerah pun, pada era di mana siaran televisi dan siaran streaming bisa diperoleh dengan mudah dan ada di mana-mana, memang aneh sekali jika orang terus memaksa diri nobar.
Tak masalah jika diadakan ketika tak ada penyakit sangat menular seperti COVID-19 yang sejauh ini telah merenggut 32.656 nyawa di Indonesia dan membuat jutaan orang kehilangan pekerjaan serta kesulitan-kesulitan hidup lainnya.
Namun yang paling penting, bergulirnya kembali kompetisi membutuhkan elemen-elemen yang lebih luas dari sekadar komunitas sepak bola.
Formula mengajak serta semua pihak ini perlu dicoba dari pada terus menunggu keadaan normal atau terciptanya kekebalan kelompok setelah vaksinasi yang bisa saja terlalu lama sehingga momentum bisa hilang.
Dengan melibatkan kalangan lebih luas, liga dan sepak bola nasional mungkin bisa cepat berdenyut kembali dan cepat terselamatkan.
Dan pemain pun bisa cepat bermain lagi, manajemen bisa segera menata kembali klubnya, otoritas liga dan PSSI bisa mengelola kembali sistem sepak bola nasional, pendukung bisa menikmati tim kesayangannya bermain tanpa memaksa untuk berkerumun, dan infeksi corona tetap terbendung.
Dengan begitu, semua senang, semua menang @
Ant/sL