Jadi Saksi Bullying Tapi Diam Saja, Nggak Punya Hati Atau Takut?

ilustrasi bullying (dok.klik bekasi)
ilustrasi bullying (dok.klik bekasi)

Jakarta | EGINDO.co – Kasus pengeroyokan siswi SMP di Pontianak hingga mencuatkan tagar #JusticeForAudrey tengah ramai diperbincangkan, terutama di Twitter hingga menjadi trending no. 01 beberapa hari lalu.

 
Dilansir Antara, Ketua KPPAD Kalbar Eka Nurhayati Ishak menerima aduan korban yang didampingi ibunya pada Jumat (5/4/2019), sekitar pukul 13.00 WIB. Dalam aduan tersebut dijelaskan korban melaporkan ia telah mengalami kekerasan fisik dan psikis, seperti ditendang, dipukul, serta diseret sampai kepalanya berbenturan ke aspal.
 
“Dari pengakuan korban, pelaku utama penganiayaan ada tiga orang, yakni berinisial NE, TP, dan FZ, sedangkan sembilan orang lainnya hanya sebagai penonton,” kata Eka.
 
Dra Ratna Djuwita, Dipl. Psych, dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mengatakan bahwa bullying biasanya tidak direncanakan seorang diri, namun juga melibatkan beberapa orang lainnya yang menjadi ‘asisten-asisten’.
 
“Cuma ini (kasus Adurey –red) sudah bukan bully, mereka melakukan hal yang sudah tidak bisa ditolerir lagi. Barangkali tadinya cuma mau merencanakan mau membully tapi yang salah satu tidak bisa mengontrol emosinya, jadi ada salah satu mungkin yang kalau sudah ada masalah pribadi tidak bisa mengontrol emosi akhirnya jadi kebawa,” kata Ratna melalui telepon.
 
Ratna pun menyorot sembilan orang lain yang ada di kasus tersebut yang hanya diam saja dan tidak melakukan apapun untuk menghentikan aksi kelewat batas yang menimpa Audrey.
 
“Mereka kan jauh lebih banyak dari tiga orang pelaku, kenapa mereka nggak ngingetin, nggak nyetop, di mana empatinya? Memang bisa aja sih itu karena nggak ada yang nyetop, makanya nggak pada nyetop, itu namanya diffusion of responsibility, jadi tanggung jawab yang ‘saya tidak menolong karena orang lain tidak menolong’. Itu bisa saja terjadi,” tuturnya.
 
Ratna juga menyinggung soal kurangnya penanaman nilai luhur seperti empati, bela rasa, dan juga respek pada mereka yang menjadi saksi namun tidak melakukan apa-apa. Meski begitu, ini hanyalah spekulasi, sebab ada begitu banyak kemungkinan mengapa ini bisa terjadi.
 
“Belum tentu anak-anak itu anak-anak yang jahat, mungkin saja karena mereka kaget dan tidak ada yang berusaha satupun yang melerai maka mereka jadinya diam saja. Tapi di sinilah fungsinya pendidikan, mengantisipasi itu kita harus mendidik anak berani stand up (membela) untuk orang yang dilecehkan atau ada orang dihina.”
 
“Membela atau bela rasa itu harus dijadikan habit untuk anak-anak itu, bukan cuma di sekolah diajarkan ‘oh sebaiknya begini, sebaiknya begini’, tapi dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari,” pungkas Ratna.
 
 
Editor : Khairil Jabar
Sumber : Detik
 
 
Bagikan :
Baca Juga :  Ekspor Perikanan Indonesia Semester I 2024 Capai Rp44 Triliun
Scroll to Top