Indonesia Menang Sengketa Dagang dengan Uni Eropa di WTO Terkait Diskriminasi Kelapa Sawit

Kumpulan buah sawit yang telah lepas dari tandan sebelum dikirim ke pabrik kelapa sawit PT Sahabat Mewah dan Makmur, Belitung Timur, Rabu (28/8/2024).
Kumpulan buah sawit yang telah lepas dari tandan sebelum dikirim ke pabrik kelapa sawit PT Sahabat Mewah dan Makmur, Belitung Timur, Rabu (28/8/2024).

Jakarta|EGINDO.co Indonesia berhasil memenangkan sengketa dagang melawan Uni Eropa (UE) di Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) terkait diskriminasi terhadap kelapa sawit. Menteri Perdagangan, Budi Santoso, menyampaikan bahwa pemerintah menyambut baik keputusan Panel WTO yang diumumkan pada 10 Januari 2025. Sengketa dagang ini telah diperjuangkan oleh Indonesia selama beberapa tahun terakhir.

“Pemerintah Indonesia menyambut baik keputusan Panel WTO dalam sengketa dagang kelapa sawit dengan Uni Eropa yang dikaitkan dengan isu perubahan iklim. Putusan ini menjadi dasar agar Uni Eropa tidak memberlakukan kebijakan diskriminatif secara sewenang-wenang,” ujar Budi dalam keterangan resmi, Jumat (17/1/2025).

Budi juga berharap negara-negara mitra dagang lainnya tidak menerapkan kebijakan serupa yang dapat menghambat arus perdagangan global, terutama untuk produk kelapa sawit.

Baca Juga :  Beberapa Daerah Tertarik Kembangkan Kawasan Industri Halal

Panel WTO menyatakan bahwa Uni Eropa melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit asal Indonesia dibandingkan produk serupa seperti rapeseed dan bunga matahari yang berasal dari UE. Selain itu, UE juga memberikan keuntungan lebih kepada produk sejenis dari negara lain seperti kedelai.

Panel WTO juga menemukan bahwa UE gagal meninjau data yang digunakan untuk menetapkan biofuel berbahan baku kelapa sawit sebagai kategori risiko tinggi perubahan penggunaan lahan tidak langsung (high ILUC-risk). Selain itu, terdapat kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi risiko rendah (low ILUC-risk) dalam kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II.

Baca Juga :  Presiden AS Biden Setujui Bantuan Militer US$571 Juta untuk Taiwan

Karena itu, UE diwajibkan menyesuaikan kebijakan dalam Delegated Regulation yang dianggap melanggar aturan WTO.

“Indonesia melihat kebijakan ini sebagai tindakan proteksionisme yang disamarkan melalui isu kelestarian lingkungan yang sering diangkat oleh Uni Eropa,” tegas Budi Santoso.

Pada Desember 2019, Indonesia menggugat UE melalui WTO dengan nomor kasus DS593: European Union-Certain Measures Concerning Palm Oil and Oil Palm Crop-Based Biofuels. Gugatan ini meliputi kebijakan RED II, Delegated Regulation UE, serta kebijakan Prancis yang menghambat akses pasar kelapa sawit untuk bahan baku biofuel.

Hambatan yang dipermasalahkan antara lain pembatasan konsumsi biofuel berbahan baku kelapa sawit sebesar 7%, penetapan kategori high ILUC-risk, serta aturan penghentian bertahap (phase out) penggunaan biofuel kelapa sawit.

Baca Juga :  Airlangga: Outlook Program PEN 2021 Capai Rp 658,9 Triliun

Berdasarkan peraturan WTO, laporan Panel akan diadopsi dalam 20–60 hari setelah disirkulasikan kepada anggota WTO, jika tidak ada keberatan dari pihak yang bersengketa. Dengan demikian, laporan ini bersifat mengikat bagi Indonesia dan Uni Eropa.

Uni Eropa kemudian diwajibkan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mematuhi kewajiban sesuai putusan Panel WTO. Keputusan ini diharapkan dapat mendorong perdagangan internasional yang lebih adil, khususnya untuk produk kelapa sawit dari Indonesia.

Sumber: Bisnis.com/Sn

Bagikan :
Scroll to Top