Indonesia Dorong Integritas Pasar Karbon dan Transisi Adil pada COP30 Brasil

KLH/BPLH Hanif Faisol Nurofiq (tengah di barisan kanan) dan Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia, Andreas Bjelland Eriksen
KLH/BPLH Hanif Faisol Nurofiq (tengah di barisan kanan) dan Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia, Andreas Bjelland Eriksen

Jakarta | EGINDO.com – Indonesia mendorong integritas Pasar Karbon dan Transisi Adil pada Konferensi Para Pihak ke-30 (COP30) di Belem, Brasil. Dalam sesi Scaling Landscape Restoration, Penasehat Utama Menteri untuk Menteri Kehutanan, Edo Mahendra, menegaskan bahwa Indonesia berupaya memperkuat arsitektur pembiayaan iklim melalui regulasi terbaru.

“Terbitnya Peraturan Nomor 110 Tahun 2025 adalah komitmen Indonesia membangun pasar karbon berintegritas tinggi untuk menguatkan daya saing Indonesia baik dari aspek lingkungan, ekonomi, serta sosial,” ujarnya dalam keterangannya, Jumat (21/11/2025).

Edo menambahkan bahwa prinsip integritas pasar karbon menuntut keterbukaan alokasi pendanaan agar pertumbuhan ekonomi hijau berjalan secara adil. Salah satu prinsip pasar karbon berintegritas adalah membuka aliran pembiayaan untuk pertumbuhan ekonomi hijau dengan memprioritaskan transisi yang adil dan inklusif bagi masyarakat.

Ditegaskannya langkah Indonesia dengan menandatangani MoU bersama Integrity Council for the Voluntary Carbon Market demi meningkatkan standar transparansi dan kredibilitas pasar.

Di isu transisi energi, Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia, Paul Butarbutar, menegaskan bahwa akuntabilitas tidak bisa ditawar dalam setiap pembiayaan proyek. Akuntabilitas adalah pondasi dalam kerangka transisi berkeadilan, selain hak asasi manusia serta kesetaraan gender dan pemberdayaan.

Dipaparkannya skema JETP Indonesia menjadi salah satu upaya mobilisasi pembiayaan transisi energi terbesar di dunia. Target bersama Joint Statement JETP adalah memobilisasi total 20 miliar dolar 10 miliar dolar dimobilisasi oleh International Partners Group dan sisanya difasilitasi oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero.

Paul menekankan bahwa transisi harus “adil, inklusif, dan merata” agar tidak meninggalkan kelompok manapun. Namun, dari perspektif masyarakat sipil, transparansi penggunaan dana iklim masih belum memadai. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan ICEL, Marsya M. Handayani, menilai bahwa keterbukaan data masih menjadi kelemahan. Data penerimaan dan penggunaan dana iklim seharusnya dapat diakses dengan mudah dan diperbarui secara berkala, paling tidak annually.

Marsya menyebut bahwa trust fund seperti BPDLH dan ICCTF sudah menjadi langkah baik, tetapi transparansi implementasinya masih perlu diperkuat. Sikap lebih kritis disampaikan Associate Campaign Director Purpose sekaligus inisiator indonesiadicop.id, Elok F. Mutia. Ia menilai diplomasi Indonesia di COP30 belum menunjukkan keberpihakan kuat terhadap masyarakat. Mutia menyoroti perjanjian perdagangan karbon Article 6.2 antara Indonesia dan Norwegia yang dinilai masih gelap dari sisi informasi publik.@

Bs/fd/timEGINDO.com

Scroll to Top