INDEF: Kemiskinan Kota Naik, Pemerintah Harus Punya Program Pengentasan Kemiskinan

Geliat ekonomi masyarakat menengah kebawah pada malam hari di kawasan Mangga Dua Jakarta Barat. (Foto: Fadmin Malau)
Geliat ekonomi masyarakat menengah kebawah pada malam hari di kawasan Mangga Dua Jakarta Barat. (Foto: Fadmin Malau)

Jakarta | EGINDO.com – Urbanisasi yang semakin masif membawa tantangan baru bagi Indonesia, khususnya terkait kemiskinan di wilayah perkotaan. Ekonom menilai program pengentasan kemiskinan tak lagi cukup berfokus di desa, melainkan juga harus menjangkau kota-kota besar yang kini menjadi tempat tinggal mayoritas penduduk Indonesia.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) sekaligus Guru Besar Universitas Paramadina, Didik J Rachbini mengatakan bahwa per tahun ini, sebanyak 59% penduduk Indonesia atau sekitar 167 juta orang tinggal di kota. Urbanisasi ini akan terus meningkat, bahkan diperkirakan mencapai 70% pada 2045.

Menurutnya, lonjakan penduduk perkotaan tanpa diimbangi pemerataan kesejahteraan dapat memperparah kemiskinan kota. “Selama ini kita fokus menanggulangi kemiskinan desa, padahal kantong-kantong kemiskinan di kota juga sangat besar. Pemerintah harus mulai menyasar program yang tepat untuk masyarakat miskin kota,” ungkap Didik, Senin (9/6/2025) kemarin.

Salah satu solusi yang dia tawarkan adalah mendorong model bisnis koperasi di sektor ekonomi digital perkotaan. Ia menyoroti bahwa model bisnis transportasi daring saat ini, seperti Gojek, meski berhasil secara teknologi dan bisnis, dinilai belum memberikan kesejahteraan yang adil bagi para pengemudinya. “Model seperti Gojek hebat, tapi pengemudinya tidak pernah naik kelas. Mereka tetap di posisi bawah dan hanya menjadi alat produksi yang menguntungkan perusahaan. Ini warisan kapitalisme murni,” ungkapnya.

Ia menilai di era pemerintahan Presiden Prabowo yang menganut ideologi sosialisme pasar, pemerintah seharusnya lebih berpihak pada rakyat dengan mendorong platform transportasi digital berbasis koperasi. “Di New York, ada Co-op Ride, platform ride-sharing yang dimiliki dan dikelola para pengemudi sendiri. Indonesia bisa meniru model ini,” jelasnya.

Menurutnya, koperasi digital transportasi jauh lebih feasible secara ekonomi dan sosial, mengingat mayoritas penduduk Indonesia saat ini berada di kota. Ia menilai koperasi semacam ini lebih relevan dibandingkan dengan koperasi merah putih yang selama ini fokus pada pengembangan desa. “Kalau pemerintah ingin menjalankan ekonomi konstitusi seperti yang selalu disampaikan Presiden Prabowo dalam bukunya Paradoks Indonesia, maka model koperasi digital ini adalah langkah konkret,” kata Didik.@

Bs/timEGINDO.com

Scroll to Top