Jakarta|EGINDO.co Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa kinerja impor Indonesia mengalami kontraksi pada Oktober 2025. Total impor pada bulan tersebut tercatat US$21,84 miliar, turun 1,15% dibandingkan Oktober tahun sebelumnya. Pelemahan ini terutama disebabkan oleh berkurangnya impor pada kelompok barang konsumsi dan bahan baku/penolong, dua jenis barang yang memegang peranan penting dalam dinamika perdagangan nasional.
Dalam Rilis BPS pada 1 Desember 2025, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menjelaskan bahwa impor barang konsumsi menyusut 1,93% secara tahunan, menunjukkan penurunan permintaan terhadap sejumlah komoditas pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Di sisi lain, impor bahan baku/penolong mengalami penurunan yang lebih dalam, yakni 5,18% yoy, dari US$16,03 miliar menjadi US$15,03 miliar. Kelompok inilah yang memberikan kontribusi negatif terbesar terhadap kinerja impor, dengan andil mencapai -3,75%.
Secara kumulatif sepanjang Januari–Oktober 2025, impor bahan baku/penolong juga tercatat turun 1,25% menjadi US$139,60 miliar, menandakan adanya penyesuaian kebutuhan produksi di sektor industri atau efisiensi rantai pasok yang dilakukan pelaku usaha.
Berbeda dari dua kelompok tersebut, impor barang modal justru mencatat lonjakan signifikan. Nilainya naik 15,24% menjadi US$4,64 miliar, mencerminkan peningkatan aktivitas investasi, pengembangan kapasitas produksi, atau modernisasi peralatan di sejumlah sektor ekonomi.
Pada periode Januari–Oktober 2025, tiga kelompok komoditas nonmigas yang paling besar diimpor adalah mesin dan peralatan mekanis, mesin dan perlengkapan elektrik, serta kendaraan beserta komponennya. Ketiganya menyumbang 37,84% dari total impor nonmigas dan masing-masing mengalami peningkatan impor sebesar 7,43%, 13,40%, dan 15,39%, mencerminkan kebutuhan kuat terhadap teknologi dan sarana produksi.
Dari sisi mitra dagang, struktur impor nonmigas Indonesia masih dikuasai tiga negara utama: China, Jepang, dan Amerika Serikat, dengan pangsa gabungan 52,75%. China mempertahankan posisinya sebagai pemasok terbesar dengan nilai US$70,19 miliar, terutama untuk komoditas mesin dan peralatan mekanis (HS 84) yang dibutuhkan industri dalam negeri.
Secara keseluruhan, meskipun terjadi tekanan pada impor bahan baku dan barang konsumsi, kenaikan impor barang modal memberi sinyal positif bagi prospek investasi dan penguatan kapasitas industri Indonesia ke depan. (Sn)