Impian Jokowi, Danau Toba Menjadi The Monaco of Asia

fdmin
Fadmin Malau

Oleh: Fadmin Malau

HINGAR bingarnya mantan Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) untuk mengembangkan kawasan Danau Toba agar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara. Impiannya sangat besar yakni ingin menjadikan Danau Toba menjadi The Monaco of Asia.

Kini, hari ini, apa kabar Danau Toba? Impian Jokowi, keinginan Jokowi sewaktu menjadi presiden Indonesia menjadi pertanyaan hari ini. Danau Toba Menjadi The Monaco of Asia. Kilas balik mengapa Danau Toba belum terwujud menjadi The Monaco of Asia dan apakah presiden Indonesia kini, Prabowo Subianto masih ingin melanjutkan keinginan presiden pendahulunya ingin menjadikan Danau Toba menjadi The Monaco of Asia?

Jujur, sesungguhnya keinginan boleh boleh saja akan tetapi keinginan itu harus realistis bukan politis atau pencitraan, janji janji seribu janji menyenang-nyenangkan rakyat. Tidak mudah mewujudkan Danau Toba menjadi The Monaco of Asia. Banyak faktor yang memengaruhinya sehingga kawasan Danau Toba sulit berkembang. Satu faktor besar adalah masalah telah terjadi kerusakan lingkungan di kawasan Danau Toba.

Lingkungan kawasan Danau Toba merupakan danau terbesar di Asia Tenggara itu memiliki kawasan sangat luas, tujuh kabupaten berada di kawasan Danau Toba yakni Kabupaten Karo, Dairi, Humbang Hasundutan, Samosir, Simalungun, Tapanuli Utara, Toba Samosir ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008, Danau Toba sebagai destinasi wisata favorit bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Dari tujuh Kabupaten itu terdapat 43 Kecamatan dengan jumlah penduduk sebanyak 624.265 jiwa (sumber: BPS Kabupaten) yang masuk ke dalam Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba.

Sebelumnya tahun 2011, Danau Toba merupakan Danau Kaldera, diusulkan menjadi anggota Global Geopark Networking (GGN) Unesco dengan sebutan Geopark Toba. Namun, dalam perkembangannya mengingat bernilai warisan dunia karena merupakan letusan super volcano Toba yang berdampak global maka diusulkan nama geopark pada tahun 2013 lalu akan tetapi usulan menjadi anggota GGN belum disetujui Unesco.

Mantan Presiden Jokowi sewaktu menjadi presiden sangat serius ingin menjadikan Danau Toba sebagai The Monaco of Asia. Namun, tidak semudah itu untuk menjadikan kawasan Danau Toba sebagai The Monaco of Asia sebab harus dilihat kondisi objektif kawasan Danau Toba. Satu diantaranya lingkungan hutan di kawasan Danau Toba.

Tidak boleh hanya katanya ingin, beretorika agar membuat rakyat senang, harus objektif dan realistis. Kurang bijak bila hanya melihat apa yang ada sekarang saja. Bila kita (Anda) melihat jauh kebelakang yakni 30 sampai 40 tahun yang lalu, baru terlihat bahwa dahulu hutan alam Indonesia masih bagus, terjaga baik dan asri, termasuk hutan alam di lingkungan kawasan Danau Toba. Faktanya waktu itu lingkungan hutan di kawasan Danau Toba masih terjaga baik sebab empat puluh sampai lima puluh tahun lalu udara Kota Medan masih sejuk. Udara Kota Medan tidak seperti hari ini. Kota Medan tidak gerah, tidak sepanas sekarang ini. Hal yang sama dengan kota-kota satelit Medan seperti Binjai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar terasa sejuk.

Begitu juga dengan kota-kota di Sumatera Utara yang berada di pebukitan Bukit Barisan seperti Parapat, Balige, Dolok Sanggul, Berastagi, Kabanjahe, Sidikalang bukan saja sejuk tetapi digelar dengan kota dingin. Warga atau masyarakat yang berada di kota-kota dingin ini harus memakai baju panas pada malam hari. Bukan itu saja pada kota-kota dingin itu minyak makan (minyak goreng) bila pada pagi hari biasanya membeku seperti mentega. Terkadang masyarakat yang berada di kota-kota dingin itu bisa saja sepanjang hari mengenakan baju panas.

Kini sangat berbeda, tidak ada lagi kota-kota dingin di Provinsi Sumatera Utara. Hal itu terjadi sejak adanya Undang Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Pokok Pokok Kehutanan. Dua Undang Undang ini membuat hutan alam di Indonesia mulai digarap oleh modal asing, mengeksploitasi hasil kekayaan hutan Indonesia, termasuk hutan alam di Provinsi Sumatera Utara. Sementara Undang Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bumi dan air dengan segala isinya dikuasai negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia. Bumi dan air dengan segala isinya dikuasai negara tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat.

Faktanya dari dua UU itu membuat hasil hutan berupa kayu telah habis dibabat akan tetapi rakyat Indonesia belum juga sejahtera, jangankan rakyat Indonesia secara umum, rakyat atau masyarakat yang berada di kawasan hutan alam itu sendiri masih menderita, sebab kehilangan matapencaharian seperti masyarakat di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, ratusan Kepala Keluarga (KK) yang selama puluhan tahun, turun temurun hidupnya dari menyadap kayu Kemenyan dari hutan alam, ketika hutan alam dijadikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) maka habislah tanaman Kemenyan itu ditebang.

Faktanya dari UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Pokok Pokok Kehutanan keluar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 1970 tentang eksploitasi hutan secara besar-besaran. Pada dasarnya eksploitasi hutan secara besar-besaran ini negara (Pemerintah) telah mendapatkan uang dalam jumlah besar akan tetapi pertanyaannya, mengapa belum juga mampu mensejahterakan rakyat Indonesia. Kemudian HPH menyebabkan kerusakan hutan yang maha dahsyah, lebih dari satu juta hektar hutan setiap tahun rusak. Sementara kemampuan pemulihan lahan hutan yang telah rusak itu hanya 0,5 juta hektar saja setiap tahun. Data terakhir menyebutkan dari 133.300.543,98 hektar luas hutan Indonesia kini sebanyak 21 persen atau lebih dari 26 juta hektar telah hilang, dikatakan hutan tetapi tidak ada pohonnya lagi.

Mari kita evaluasi apakah sudah ada pemilik HPH di Indonesia yang berhasil membangun Hutan Tanaman Industri (HTI) di lahan hutan alam yang telah digunduli, diambil kayunya. Dahulu hutan alam, kini hutan tanaman industri, sudah punya jarak tanam dan tanamannya sejenis. Disamping itu ribuan habitat atau hewan yang ada di hutan alam itu sudah tidak mungkin hidup lagi karena lingkungan hidupnya sudah berubah dari hutan alam menjadi Hutan Tanaman Industri. Habitat berubah maka berbagai jenis hewan tidak memiliki tempat tinggal yang cocok bagi hewan tersebut, seperti di Sumatera Utara yang hutan alam dijadikan HTI maka hewan yang ada di hutan alam itu seperti Harimau Sumatera hilang, punah begitu juga dengan tanaman langka seperti tanaman Kemenyan terancam punah. Persoalan hutan yang hilang harus dikaji ulang, dilihat jauh kebelakang sebelum hutan alam Indonesia hancur, termasuk hutan di kawasan Danau Toba akibat beroperasinya perusahaan industri kehutanan.

Kawasan Danau Toba sudah kehilangan hutan alam. Kini, harus dievaluasi HPH-HTI yang ada di kawasan Danau Toba apakah sudah tercapai tujuan yakni mensejahterakan rakyat di daerah itu. Bila tidak maka perlu evaluasi dan eksekusi. Hal itu mungkin yang tidak dilihat mantan Presiden Indonesia Jokowi ketika menyatakan dengan semangat ingin menjadikan kawasan Danau Toba sebagai The Monaco of Asia. Faktanya hingga hari ini apa yang diinginkan mantan presiden Jokowi itu menjadi mimpi panjang yang tidak terwujud.

***

Penulis adalah Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Medan, Sumatera Utara.

 

Scroll to Top