Jakarta | EGINDO.com – Harus penuhi syarat EU Deforestation Free Regulation (EUDR), jika tidak maka pasar Sawit Indonesia bisa kalah dengan negara jiran. Hal itu terungkap dalam acara diskusi publik bersama Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) di Jakarta.
Pelaksanaan EUDR telah ditetapkan diundur selama setahun yang tadinya akan berlaku pada akhir Desember 2024 ini. Muhammad Fauzan Ridha, Ketua Tim Kerja Pemasaran Internasional, Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan) mengatakan penundaan itu memberikan waktu kepada Indonesia untuk berbenah. Fauzan mengatakan persentase ekspor minyak sawit dan turunannya ke pasar Eropa adalah sebesar 10% dari total ekspor tahunan.
Menurutnya, jika Indonesia gagal memenuhi kriteria ekspor yang harus dipenuhi EUDR, maka Indonesia akan kehilangan Rp 30-50 triliun per tahun. Ekspor sawit Indonesia itu 10% yang akan terdampak. Mana kala pemenuhan kriteria belum dipenuhi diperkirakan Indonesia akan kehilangan Rp 30-50 triliun per tahun, kalau kita tidak bisa masuk pasar Eropa. Bila Indonesia kecolongan maka Eropa bisa saja mengalihkan impor mereka kepada Malaysia.
Fauzan mengakui, jika dibandingkan negara tetangga Indonesia itu, Malaysia lebih unggul dalam tata kelola, juga dengan lahan sawit Malaysia sudah 90% sertifikasi Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) atau setara dengan sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO). “Secara lahan memang lahan dan produksi Malaysia masih dibawah kita dan memang mereka sebenarnya untuk sertifikasi ISPO, mereka sudah 90% kalau tidak salah ya, untuk disertifikasi MSPO,” katanya.
Sementara itu berdasarkan data penelitian dari INDEF, dari 500 koresponden yang berasal dari 3 wilayah perkebunan sawit yang terlibat dalam rantai pasok pasar UE terbesar yaitu petani kelapa sawit (plasma dan mandiri) di Riau (Siak), Lampung (Mesuji), dan Kalimantan Barat (Ketapang) hanya 6% petani yang pernah mendengar Peraturan Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Sedangkan sebanyak 94% responden tidak pernah mendengar.
“Ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan dalam pengetahuan dan kesadaran dikalangan petani kecil, yang dapat menghambat kemampuan mereka untuk mematuhi peraturan dan membuat keputusan yang tepat terkait praktik pertanian mereka,” kata peneliti senior INDEF, Fadhil Hasan.@
Bs/timEGINDO.com