Hari Guru: Perlu Keprofesional Guru dan Dosen yang Digugu

Fadmin Malau
Fadmin Malau

Oleh: Fadmin P Malau

Hari Guru diperingati pada 25 November. Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencanangkan guru sebagai profesi pada 2 Desember 2004 lalu, disusul dengan Undang Undang (UU) Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang ditandatangani Presiden RI pada 30 Desember 2005. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan.

UU Guru dan Dosen ini sejalan atau melengkapi Undang-Undang sebelumnya yakni UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebab pada UU No. 20 Tahun 2003 itu pada Pasal 39 Ayat (2) menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Apa yang ada dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) sejalan dengan pepatah Jawa yang mengatakan guru adalah digugu atau ditiru. Artinya guru merupakan sosok panutan bagi muridnya. Keinginan yang tidak pernah berubah sepanjang zaman, menginginkan pendidikan berkualitas. Tentunya harus dimulai dari guru yang berkualitas. Misi dan visi Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan terus hidup sepanjang zaman, sampai hari ini.

Misi dan visi itu ada pada “Ing Ngarsa Sung Tuladha” (bila berada di depan harus memberi contoh), “Ing Madya Mangun Karsa” (bila di tengah-tengah harus dapat memberi gagasan yang mendorong kemajuan) dan “Tut Wuri Handayani” (ketika di belakang harus dapat memberikan dukungan atau dorongan).

Baca Juga :  Regenerasi SDM Industri Kurir dan Logistik Butuh Anak Muda

Visi dan misi Ki Hajar Dewantara ada dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD). Namun, implementasinya yang belum menjadi kenyataan. Guru dan dosen belum sepenuhnya bisa digugu atau ditiru karena faktanya masih ada segelintir oknum guru dan dosen yang belum bisa memberi contoh apa lagi menjadi contoh.

Tugas berat pada guru dan dosen karena harus menjadi inspirator dalam kondisi apapun. Hal ini sudah menjadi kodrat bagi seorang guru dan dosen. Makna Hari Guru bukan sekadar seremonial. Namun, tersirat makna yang dalam bahwa guru itu yang digugu atau ditiru.

Makna tersirat seorang guru dalam jati dirinya menjadi penanaman budi pekerti yang luhur, guru harus menjadi sosok inspiratif karena pendidikan berarti upaya memajukan budi pekerti yang dididik pada karakternya dan juga pikirannya (intellect) serta jasmaninya. Tugas yang luar biasa berat dan setiap orang pasti mempunyai banyak guru, baik guru secara formal maupun guru informal.

Antara Impian dan Fakta

Sebuah cita-cita luhur adalah impian, harapan. Namun, cita-cita luhur, impian itu harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. Pada tahap ini yang menjadi tolak ukur keberhasilan dari keprofesionalan guru dan dosen.

Fakta yang ada dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional guru dan dosen yang professional itu harus memiliki syarat sertifikasi, guru harus mengajar 24 jam per minggu, ini bukan perkara mudah.

Baca Juga :  Pita Kalah Dalam Upaya Jadi PM, Tetapi Tidak Akan Menyerah

Guru dan dosen itu bukan buruh pabrik atau karyawan karena sesuai dengan makna guru dan dosen yang digugu, mendidik sebagaimana yang diamanatkan Undang Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Tidak sama yang dihasilkan buruh pabrik atau karyawan pada satu perusahaan.

Tidak masalah bagi seorang buruh pabrik atau karyawan bekerja seminggu 40 jam dengan hitungan satu jam 60 menit. Guru dan dosen tidak mungkin melakukan itu sebab guru mengajar satu jam pelajaran berdurasi 35-45 menit dan dosen satu kali pertemuan 2 kali 45 menit.

Tegasnya seorang guru dan dosen sulit untuk mengajar seminggu sama jumlahnya dengan jumlah jam pekerja pabrik atau karyawan perusahaan. Masalahnya bukan pada banyaknya menit mengajar seorang guru dan dosen akan tetapi bagaimana bisa mewujudkan misi dan visi pendidikan dan apa yang diamanatkan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Bila dipaksakan sama dengan jumlah jam kerja buruh pabrik dan karyawan perusahaan agar memenuhi syarat sertifikasi maka guru dan dosen harus mengajar lebih dari satu sekolah dan universitas. Bagi guru yang ingin mendapatkan sertifikasi harus bisa dua hingga tiga sekolah setiap hari. Misalnya pagi mengajar di sekolah A siang di sekolah B.

Beban jam kerja yang diharuskan bagi guru dan dosen ini kurang tepat sebab guru dan dosen bukan semata-mata mengajar di dalam kelas. Guru dan dosen juga harus mendidik karakter, menanamkan moral dan akhlak.

Baca Juga :  BWS Dukung Lapangan Merdeka Cagar Budaya, Pemko Banding

Guru dan dosen menghadapi manusia, bukan seperti buruh atau pekerja pabrik dan karyawan perusahaan yang berhadapan dengan benda mati atau bukan manusia. Guru dan dosen harus memiliki tugas perencanaan, pembelajaran dan penilaian (evaluasi).

Tiga tugas ini tidak mungkin dihitung dengan jam mengajar. Perencanaan dilakukan sebelum mengajar di kelas dan penilaian setelah mengajar di kelas berakhir. Hal ini sesuai dengan yang diinginkan Kurikulum 2013.

Tugas pokok guru dan dosen selain mentransfer ilmu juga membentuk karakter, akhlak dari anak didik sehingga tidak mungkin dihitungan hanya lama jam mengajar di ruang kelas. Keprofesionalan guru dan dosen bukan karena jam mengajar yang hampir sama dengan jumlah jam kerja buruh pabrik atau karyawan perusahaan.

Harus diingat guru dan dosen tidak berhadapan dengan alat-alat produksi, tidak berhadapan dengan benda mati akan tetapi berhadapan dengan manusia. Kini di perusahaan sendiri sudah dibedakan jumlah jam kerja bagi karyawan yang bukan bekerja pada bidang produksi atau administrasi seperti bidang Public Relations (Humas) dan bidang-bidang yang berhadapan dengan manusia.

Nah, jika pada perusahaan sudah dibedakan mengapa pada dunia pendidikan justru keprofesionalan itu ingin dinilai dari jumlah jam mengajar agar memperoleh sertifikasi. Keprofesionalan guru dan dosen justru harus dinilai dari berhasil atau tidaknya mendidik anak bangsa ini menjadi cerdas, berkarakter dan berakhlak mulia. Selamat Hari Guru.

***

Penulis Pimpinan Redaksi EGINDO.co, mantan Dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan, mantan Guru Sekolah Pembangunan Pertanian (SPP) Poetjut Baren Medan.

Bagikan :
Scroll to Top