Bandung | EGINDO.com   –Harga kacang kedelai terus melambung, perajin tahu di kembali mengancam menggelar aksi mogok produksi dan berjualan.
Pengusaha tahu dan tempe di Jawa Barat akan melakukan aksi mogok produksi dan berjualan akan mereka lakukan selama tiga hari, mulai besok Jumat (28/5/2021) hingga Minggu (30/5/2021).
Aksi digelar sebagai buntut dari terus melambungnya harga kedelai, yang merupakan bahan baku utama selama beberapa minggu terakhir.
Paguyuban produksi tahu se- Jawa Barat berencana menggelar aksi mogok produksi selama tiga hari mulai besok hingga Minggu (30/5/2021).
Seorang pemilik pabrik tahu yang berada di Jalan Purnawarman, Purwakarta, H Adis, mengaku sempat mengikuti rapat bersama pemilik tahu se- Jawa Barat di Bandung.
“Saat rapat (Sabtu 22 Mei 2021) dibahas itu soal mogok produksi selama tiga hari dari Jumat, Sabtu, hingga Minggu,” kata Adis Kamis (27/5/2021).
Alasan aksi mogok produksi ini, kata H Adis, lantaran harga kedelai yang semakin melonjak tinggi. H Adis menyebut kenaikan ini sudah terjadi hampir sekitar empat bulan.
“Awalnya itu harga kedelai Rp 700 ribu per kuintal, lalu harga sekarang Rp 1,1 juta tapi bukan tidak mungkin masih akan naik lagi,” ujarnya.
Adapun antisipasi biar tidak merugi, lanjut dia, yakni sempat menaikkan harga tahu dari Rp 400 ke Rp 600. Namun, untuk ke depannya dia mengaku tidak tahu apakah akan mengecilkan ukuran tahu atau tidak dari 5 sentimeter ke 4 sentimeter.
“Saya sih berharapnya tidak usah mogok produksi. Pengusaha tempe justru tidak mogok. Baiknya mah kecilkan saja ukuran karena pedagang-pedagang pasar juga akan mengerti,” ujarnya.
Dalam sehari, H Adis mengatakan di tempat usaha tahunya ini dapat memproduksi sebanyak empat sampai lima karung tahu dan kemudian dipasarkan ke Pasar Rebo dan Pasar Simpang.
“Untuk dijualnya tahu produksi saya 100 tahu itu harganya Rp 40 ribu. Harga itu untuk mereka yang hendak menjualnya lagi,” kata H Adis yang miliki 9 pegawai ini.
Ketua Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia ( Kopti ) Bandung, Asep Nurdin, mengaku prihatin dengan terus melambungnya harga kedelai, yang menjadi bahan dasar tahu dan tempe.
Kenaikan harga kedelai, ujarnya, sangat menyulitkan bagi para perajin tahu dan tempe.
“Kami tentu sangat menyesalkan terus terjadinya kenaikan harga kedelai ini. Kenaikan ini adalah imbas dari naiknya harga jual kedelai di Amerika, yang selama ini diimpor oleh kita sebagai bahan baku produksi tahu dan tempe di Tanah Air,” ujarnya kepada Tribun Jabar saat dihubungi melalui telepon, Rabu (26/5/2021).
Asep mengatakan, berbagai langkah diplomatis telah dilakukan oleh Kopti dan Gapoktindo. Salah satunya mendesak Kementerian Perdagangan RI untuk memanggil importir kedelai agar dapat menyesuaikan harga kedelai.
“Bahkan, sudah ada pembicaraan agar harga itu jangan lebih dari Rp 10.500 per kilo, tapi kalau lihat kondisi sekarang, justru potensi kenaikan harga masih bisa naik lebih tinggi lagi,” ucapnya.
Sebagai solusi, kata Asep, Kopti Bandung pun mempersilakan para perajin tahu dan tempe untuk menaikkan harga jual.
“Maksimal 30 persen, atau disesuaikan dengan kondisi kenaikan harga bahan baku,” ujarnya.
Terkait rencana aksi mogok para perajin tahu dan tempe ini, Asep mengatakan, Kopti tidak mendukung atau pun melarang.
“Kami mempersilakan saja, tidak melarang ataupun mengajurkan untuk mogok, karena itu hak mereka. Tapi selama beberapa hari ini Kopti juga banyak mendapat masukan dari para perajin, khususnya yang kecil-kecil.
Mereka bertanya, katanya, ‘kalau enggak ikutan mogok bagaimana dan kalau ikutan juga bagaimana?’. Sekali lagi, intinya kami (Kopti Bandung) memilih untuk mempersilakan saja, baik yang mau ikut ataupun tidak,” ujarnya.
Harga melambung
“Naiknya sudah sejak sebelum bulan Puasa. Waktu itu masih antara Rp 7 ribu sampai Rp 8 ribuan per kilogram. Tapi dari bulan Puasa sampai Lebaran, malahan sampai hari ini harganya terus naik.
Kalau begini terus, kami yang bingung. Mau jual berapa ke konsumen?” ujarnya saat ditemui di Jalan Cibuntu Selatan, Kelurahan Warung Muncang, Kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung, Rabu (26/5).
Deden mengaku, telah melakukan berbagai upaya agar tidak sampai menaikkan harga jual tahu produksinya. Mulai dari mengecilkan ukuran tahu hingga menjual tahu secara terbatas.
“Karena harga tahu yang saya jual sudah Rp 1.000 per butir, maka tidak mungkin saya naikkan lagi. Bisa kabur nanti pembeli.
Jadi solusinya saya perkecil saja ukurannya, bahkan baru dua hari ini saya jualnya terbatas, biasanya sehari saya produksi 100 papan (1 papan = 100 butir tahu), tapi kemarin saya hanya bikin 60-70 papan saja.
Saya khawatir kalau produksi seperti biasa, bahan baku habis, terus harus beli kedelai lagi yang lagi mahal, habis dong modal saya,” ujarnya.
Dengan kondisi tersebut, Deden mengaku akan ikut aksi mogok berproduksi dan berjualan ini seperti teman-temannya. Deden berharap, dengan aksi mogok ini pemerintah segera mencari solusi agar kondisi mahalnya kedelai dapat secepatnya diatasi.
“Insya Allah, saya ikut kaksi mogok nanti,” ujarnya.
Perajin tahu Cibuntu lainnya, Supardi (57), mengaku belum memutuskan apakah akan ikut mogok produksi dan berjualan tahu atau tidak, Jumat hingga Minggu nanti.
Ia masih ragu karena khawatir dengan dampaknya pada kondisi ekonomi para pegawainya, yang buruh harian. Terlebih, di tengah kondisi pandemi Covid-19 ini, mendapatkan pekerjaan menjadi jauh lebih sulit.
“Saya masih mempertimbangkan untuk ikutan karena saya harus diskusi dulu sama para pegawai.
Apakah mereka siap kalau harus kehilangan pendapatan hariannya selama mogok produksi dan jualan? Apalagi saya punya tujuh pegawai yang merupakan tulang punggung keluarga. Kalau mereka enggak dapat uang, keluarganya bagaimana? Itu yang masih saya pikirkan,” ujarnya.
Imbasnya Lama
Rencana aksi mogok para perajin tahu dan tempe, kemarin juga menuai reaksi dari masyarakat, terutama para ibu.
“Kalau bisa mah jangan mogok lah, bagaimana lah caranya asal jangan mogok. Soalnya, tahu dan tempe itu sudah seperti makanan wajib keluarga saya. Harus selalu ada di meja makan,” ujar Anita Tresnaningsih (56), warga Riung Bandung, saat ditemui di rumahnya, Rabu (26/5).
Hal senada disampaikan oleh Nina (53), warga GBI, Kota Bandung.
“Saya sudah dengar bakal ada rencana mogok jualan ini dari si emang tahu keliling langganan.
Malahan, gara-gara rencana itu saya harus nyetok tahu di kulkas, kalau-kalau seperti dulu lagi, tahu jadi langka, gara-gara yang enggak ada yang jualan,” ujarnya saat dihubungi melalui telepon.
Ia juga berharap para perajin tahu dan tempe mengurungkan niat mereka untuk mogok produksi dan berjualan.
“Sebab, meskipun mogoknya cuma tiga hari, kadang imbasnya lebih dari tiga hari. Tahu jadi langka lah atau justru kalau pun ada, harganya naik tinggi.
Harapannya, pemerintah cari solusi, biar pada penjual tahu ini tetap jualan, kasian juga kan, kalau engga ada tahu dan tempe, rakyat kecil makan apa,” ucapnya.
Juariah (48), warga Cempaka Arum, Gedebage, Kota Bandung, berharap rencana mogok para perajin tahu ini menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk mulai mencari importir baru penyuplai kedelai selain Amerika.
“Situasi ini, kan, terus berulang ya. Terakhir itu bulan Desember lalu, pas mau tahun baru, kalau enggak salah. Jadi ini semacam warning lah buat pemerintah bahwa sudah saatnya mencari importir baru kedelai, karena selama ini kan kita terus-terusan impor kedelai dari Amerika.
Meskipun kualitasnya bagus, kalau ada yang alternatif produsen dengan sepadan kualitas yang sepadan, kenapa enggak? Apalagi kalau bisa lebih murah, tapi kualitasnya tetap bagus, itu lebih baik lagi,” ujarnya.
Jika jadi nanti, mogok para produsen tahu kali ini adalah yang kedua pada tahun ini. Sebelumnya, para perajin tahu dan tempe ini juga menggelar aksi serupa selama tiga hari, 1-3 Januari. Saat itu, aksi juga dipicu kenaikan
Hal tersebut sebagai respons perajin terhadapnya melonjaknya harga kedelai sebagai menjadi Rp 9.200 per kilogram. Pascamogok, harga kedelai kembali turun sebelum membali merangkak naik awal Ramadan.
Sumber: Tribunnews.com/Sn