Green Card Toba Caldera: Dari Pengakuan Dunia Menuju Tanggung Jawab Bersama

Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl._Ec., M.Si
Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl._Ec., M.Si

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si

Keberhasilan Toba Caldera UNESCO Global Geopark (TCUGGp) mempertahankan status Kartu Hijau (Green Card)  dalam Sidang Komite Eksekutif Global Geoparks Network (GGN) ke-11 di Chile, September 2025, adalah capaian penting yang patut disyukuri bersama. Ini bukan hanya pengakuan atas keunikan geologi, budaya, dan ekologi Kaldera Toba, tetapi juga sebuah pengingat akan tanggung jawab kolektif kita untuk menjaga dan merawatnya.

Pengakuan global ini semestinya bukan dipandang sebagai akhir dari perjuangan, melainkan sebagai awal dari fase baru pengelolaan geopark yang lebih integratif, partisipatif, dan berkelanjutan. Maka, seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan masyarakat lokal—perlu memperbarui komitmen dan visi bersama.

Komitmen Perlu Dihidupkan Kembali

Perlu diingat, Kesepakatan Bersama tujuh bupati kawasan Danau Toba tahun 2013 telah menandai tekad kolektif untuk menjadikan kawasan ini sebagai destinasi berbasis geopark dan pembangunan berkelanjutan. Dokumen tersebut disahkan secara formal dan disaksikan oleh Menteri Pariwisata serta Gubernur Sumatera Utara.

Beberapa langkah konkret telah diambil, mulai dari penataan kelembagaan, integrasi program pembangunan lintas kabupaten, hingga penguatan SDM. Namun, konsistensi implementasi dan koordinasi lintas wilayah masih menjadi tantangan nyata yang menuntut kolaborasi aktif dan kepemimpinan yang visioner.

Lima Siklus Revalidasi: Jalan Panjang Pembelajaran

Sejak ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark, TCUGGp telah menjalani lima siklus pemeberian rekomendasi dari UNESCO terhadap Geopark Toba masing-masing tahun: 2015, 2018, 2020, 2024, dan 2025. Proses ini bukan hanya ajang evaluasi teknis, tetapi merupakan momentum penting untuk merefleksikan kualitas tata kelola, partisipasi masyarakat, dan perlindungan warisan geologi.

Upaya perbaikan mulai terlihat, seperti diterbitkannya Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 5 Tahun 2024 dan penguatan koordinasi antar kabupaten. Namun, keberhasilan sejati baru akan terwujud apabila semua rekomendasi UNESCO diimplementasikan secara tuntas, adil, dan terukur di seluruh 16 tapak geosite utama.

Rencana Induk: Kompas Lintas Generasi

Salah satu rekomendasi utama yang terus diulang adalah perlunya Rencana Induk (Master Plan) yang sah, komprehensif, dan mengikat lintas wilayah serta lintas sector bidang pembanguan. Dokumen ini tidak hanya menjadi panduan teknis, tetapi juga simbol visi bersama lintas generasi mengenai arah pengelolaan Kaldera Toba secara berkelanjutan.

Finalisasi dan pengesahan master plan melalui proses bottom up dengan keterlibatan pantahelix harus menjadi prioritas, bukan sekadar dokumen administratif, melainkan fondasi kebijakan jangka panjang.

Komunitas Lokal: Pilar yang Harus Diperkuat

Masyarakat lokal adalah aktor utama dan sebagai agent of change dalam keberlanjutan geopark. Upaya pelibatan sudah dimulai—melalui edukasi, promosi budaya, dan pengembangan ekonomi kreatif berbasis geosite. Namun, strategi pemberdayaan yang lebih sistemik masih sangat diperlukan.

Dukungan terhadap UMKM, pelatihan kapasitas, serta akses pasar yang adil dan inklusif akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa manfaat geopark benar-benar dirasakan oleh masyarakat yang hidup di dalamnya.

Lingkungan: Warisan yang Harus Dirawat

Ancaman terhadap lingkungan Kaldera Toba seperti kebakaran lahan, penebangan kayu hutan alam, pencemaran danau, dan konversi lahan menjadi tekanan yang terus berlangsung. Di sisi lain, semangat konservasi mulai tumbuh melalui gerakan komunitas dan perbaikan tata ruang.

Sebagai kawasan geopark, Toba adalah tempat perjumpaan antara sains dan spiritualitas ekologis. Merawatnya adalah bentuk tanggung jawab antar generasi—tidak sekadar menjaga keindahan, tetapi juga melestarikan nilai-nilai kehidupan.

Kepemimpinan dan Tata Kelola: Dedikasi Penuh Waktu

Pasal 28 butir j dalam Peraturan Gubernur Sumut No. 5 Tahun 2024 menegaskan bahwa pejabat pengelola utama geopark harus bekerja penuh waktu dan tidak merangkap jabatan lain. Ketentuan ini mengandung makna mendalam: bahwa geopark membutuhkan kepemimpinan total, bukan sekadar administratif.

Dalam konteks geopark yang menuntut koordinasi lintas sektor dan kepercayaan publik, kehadiran penuh waktu adalah bentuk komitmen terhadap kualitas kepemimpinan.

Transparansi: Fondasi Kepercayaan Publik

Pengelolaan geopark harus terbuka dan akuntabel. Digitalisasi pelaporan, akses publik terhadap dokumen perencanaan, serta pelibatan masyarakat dalam proses evaluasi akan memperkuat kepercayaan dan partisipasi masyarakat.

Geopark yang sehat adalah geopark yang mampu mengundang publik untuk ikut serta—bukan hanya sebagai penonton, tetapi sebagai mitra.

Rekomendasi Aksi Kolaboratif

Untuk memperkuat transformasi TCUGGp secara berkelanjutan, berikut tujuh langkah strategis yang perlu diprioritaskan:

  1. Mengaktifkan Kelompok Kerja Lapangan (KKL) di 16 tapak geosite secara menyeluruh, lengkap dengan mandat, struktur, dan pendanaan yang memadai.
  2. Melaksanakan seluruh rekomendasi UNESCO dari 2015 hingga 2025 secara tuntas, dengan pelibatan aktif semua pemangku kepentingan.
  3. Menyelesaikan dan mengesahkan Master Plan sebagai panduan lintas kabupaten dan sektor.
  4. Menguatkan tata kelola lembaga geopark sesuai amanat regulasi, termasuk kepemimpinan penuh waktu dan akuntabilitas tinggi.
  5. Meningkatkan transparansi dan literasi publik melalui platform digital yang terbuka dan berkelanjutan.
  6. Menempatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama dalam konservasi, edukasi, dan ekonomi kreatif kawasan.
  7. Mendorong kolaborasi lintas sektor—pemerintah pusat dan daerah, perguruan tinggi, dunia usaha, dan komunitas—dalam semangat kerendahan hati dan pelayanan ekologis.

Penutup

Green card dari UNESCO adalah simbol prestasi, namun maknanya akan menjadi hampa jika tidak diikuti oleh transformasi nyata—bagi alam maupun manusia yang hidup di dalamnya.

Kini saatnya kita bergerak dari seremoni menuju refleksi, dari pengakuan menuju pertanggungjawaban, dari pencitraan menuju pembaruan yang sejati. Kaldera Toba bukan hanya destinasi wisata, tetapi ruang hidup bersama yang menuntut cinta, kesungguhan, dan keteladanan dalam pengelolaannya.@

***

Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI) dan Penggiat Lingkungan

Scroll to Top