Fenomena “Rojali” dan “Rohana” Dinilai Hambat Penjualan Ritel, APPBI: Perlu Dorongan Daya Beli

ilustrasi
ilustrasi

Jakarta|EGINDO.co Fenomena sosial yang dikenal sebagai “Rojali” (rombongan jarang beli) dan “Rohana” (rombongan hanya nanya) tengah ramai menjadi sorotan publik. Kedua istilah ini menggambarkan perilaku konsumen yang lebih banyak berkunjung ke pusat perbelanjaan hanya untuk berjalan-jalan atau bertanya tanpa melakukan pembelian. Fenomena tersebut dinilai berdampak terhadap penurunan omzet di sejumlah pusat perbelanjaan.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonsus Widjaja, menjelaskan bahwa tren ini mulai marak terjadi sejak masa transisi pascapandemi COVID-19. Masyarakat, menurutnya, mencari tempat alternatif untuk bersosialisasi secara langsung setelah sebelumnya dibatasi oleh interaksi daring.

“Mal menjadi ruang publik yang mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat untuk berkumpul, baik untuk bersantai, makan, hingga sekadar bertemu teman atau kerabat,” kata Alphonsus dalam dialog bersama RRI Pro 3, Minggu (27/7/2025).

Namun, ia mengakui bahwa tidak semua pengunjung yang datang memiliki niat untuk berbelanja. Menurutnya, terdapat dua kelompok masyarakat yang mendominasi perilaku ini. Pertama, kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah yang membatasi pengeluaran hanya untuk kebutuhan prioritas. Kedua, kelompok menengah atas yang secara finansial mampu, tetapi cenderung menahan konsumsi karena faktor kehati-hatian menghadapi ketidakpastian ekonomi global.

“Kedua kelompok ini sama-sama memberi pengaruh terhadap performa tenant. Bila tren ini terus berlanjut, tentu akan berdampak terhadap penurunan omzet ritel,” ujarnya.

Alphonsus menambahkan bahwa situasi tersebut membuat sejumlah penyewa gerai kesulitan memenuhi kewajiban sewa, bahkan memaksa beberapa di antaranya untuk menutup usahanya. Kendati demikian, ia tidak melihat platform e-commerce sebagai kompetitor yang mengancam. Justru, ia menilai mal dan toko daring bisa saling melengkapi.

“Solusinya adalah inovasi. Tenant harus menciptakan pengalaman belanja yang unik dan interaktif, seperti mengadakan kuis, permainan berhadiah, atau bentuk promosi menarik lainnya,” ucapnya.

Dilansir dari Katadata.co.id, pertumbuhan penjualan ritel nasional memang menunjukkan perlambatan dalam beberapa bulan terakhir. Data Bank Indonesia pada Mei 2025 mencatat Indeks Penjualan Riil (IPR) hanya tumbuh 0,6 persen secara tahunan (yoy), lebih rendah dibanding periode sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih.

Alphonsus optimistis bahwa fenomena “rojali” dan “rohana” tidak akan berlangsung selamanya. Ia percaya, dengan meningkatnya pendapatan dan kepercayaan masyarakat terhadap kondisi ekonomi nasional, pola konsumsi akan kembali menguat.

“Upaya pemerintah dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi akan menjadi katalis penting. Saat masyarakat merasa yakin dengan prospek keuangan mereka, maka belanja pun akan meningkat, terutama dari kalangan menengah atas,” pungkasnya.

Sumber: rri.co.id/Sn

Scroll to Top