Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H di Masjid Istiqlal, Jakarta, 4 September 2025 lalu menjadi peristiwa penting dalam sejarah spiritualitas ekologis Indonesia. Di hadapan Presiden Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan para tokoh bangsa, Menteri Agama Prof. Dr. Nasaruddin Umar secara resmi memperkenalkan tema “Ekoteologi Keteladanan Nabi Muhammad SAW untuk Kelestarian Bumi dan Negeri.”
Pengangkatan tema ini menandai langkah serius negara dan tokoh agama dalam merespons krisis lingkungan bukan hanya dengan pendekatan teknokratis, tetapi juga dengan landasan spiritual. Dalam sambutannya, Menteri Agama mengajak umat beragama, khususnya umat Islam, untuk mengembangkan pendekatan teologis yang lebih berbelas kasih dan menekankan nilai-nilai keseimbangan serta tanggung jawab terhadap alam.
Dari Krisis Ekologis ke Kesadaran Spiritual
Krisis lingkungan bukan hanya masalah teknis atau ilmiah. Ia menyentuh cara pandang kita terhadap alam, apakah sebagai mitra dalam kehidupan, atau sekadar objek eksploitasi. Selama beberapa dekade terakhir, paradigma yang terlalu menempatkan manusia sebagai pusat justru mempercepat kerusakan ekologis.Ekoteologi hadir sebagai upaya korektif. Dalam makna luas, ekoteologi adalah pendekatan spiritual dan teologis yang memandang alam sebagai bagian dari ciptaan Tuhan yang sakral. Karena itu, merawat bumi menjadi panggilan iman, bukan sekadar program lingkungan.
Ruang Kolaborasi Lintas Iman
Meskipun ekoteologi diangkat dalam konteks peringatan Maulid Nabi, pendekatan ini sesungguhnya bersifat lintas iman. Dalam tradisi Kristen, Hindu, Buddha, hingga kearifan lokal Nusantara, kita menemukan nilai-nilai serupa: menjaga keseimbangan alam, hidup hemat sumber daya, dan menghormati makhluk hidup lain.
Di tengah keragaman Indonesia, pendekatan seperti ini sangat relevan. Ia membuka ruang kerja sama antarumat beragama dalam menjawab tantangan lingkungan. Negara, agama, dan masyarakat, LSM, perguruan tinggi dapat bersinergi menciptakan peradaban yang berkelanjutan.
Spiritualitas yang Membumi
Yang menjadikan momen di Istiqlal ini penting adalah kehadiran unsur negara, Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat tinggi lainnya yang ikut menyimak seruan spiritual ini. Artinya, agama dan negara tidak lagi berjalan sendiri-sendiri dalam menyikapi isu lingkungan.
Sebagai penggiat lingkungan dan berlatar belakang akademis misiologi, penulis melihat ekoteologi sebagai jembatan antara iman dan aksi. Banyak program lingkungan kita gagal menyentuh akar masalah karena hanya berbasis data dan hukum. Padahal, perubahan paling dalam lahir dari kesadaran moral yang tumbuh dari iman dan spiritualitas yang hidup.
Menuju Implementasi Nyata
Pengenalan ekoteologi di panggung kenegaraan adalah permulaan yang baik. Tantangannya ke depan adalah bagaimana gagasan ini masuk ke ruang-ruang pendidikan, rumah ibadah, media, dan komunitas akar rumput. Diperlukan pelatihan, kurikulum, dan forum lintas agama yang secara khusus mengangkat isu teologi lingkungan.
Ekoteologi adalah spiritualitas yang membumi. Ia menantang kita untuk melihat bahwa iman bukan hanya soal hubungan dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama makhluk dan alam. Ia mendorong pertobatan ekologis mengubah cara hidup kita agar lebih selaras dengan ciptaan.
Penutup
Krisis lingkungan adalah krisis kemanusiaan. Dan agama memiliki kekuatan moral untuk menolong manusia keluar dari krisis ini, bukan dengan cara mencampuri keyakinan satu sama lain, tetapi dengan saling menginspirasi dalam menjaga bumi yang sama. Apa yang dimulai dari Masjid Istiqlal semoga menjadi gerakan spiritual yang lebih luas yang tak berhenti di mimbar, tetapi menyentuh tanah, air, udara, dan kehidupan nyata kita semua.@
***
Penulis adalah Penggiat Lingkungan