Jakarta | EGINDO.co – Pemerhati masalah transportasi dan hukum, Budiyanto, menyampaikan bahwa pengguna jalan yang melanggar aturan lalu lintas dapat secara otomatis terekam oleh CCTV yang terhubung dengan sistem Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE). Data pelanggaran tersebut akan langsung masuk ke dalam sistem back office (big data), di mana data ini akan dianalisis dan diverifikasi sebelum petugas mengirimkan surat pemberitahuan konfirmasi kepada nama yang tercantum dalam Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) kendaraan bermotor yang terdeteksi oleh CCTV.
Budiyanto menjelaskan, surat konfirmasi yang dikirimkan kepada pemilik kendaraan yang melakukan pelanggaran, baik secara manual maupun melalui sistem, wajib diklarifikasi atau dijawab. Dalam jangka waktu tertentu, kurang lebih tujuh hingga delapan hari, jika tidak ada klarifikasi, kendaraan bermotor dapat diblokir. Dasar hukum untuk pemblokiran ini cukup kuat, baik yang diatur dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Pemeriksaan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008, serta Peraturan Kapolri tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor.
Menurut Budiyanto, dalam rangka penegakan hukum, pihak Kepolisian dapat melakukan pemblokiran kendaraan bermotor dalam hal pelanggaran lalu lintas, kendaraan bermotor terlibat dalam kecelakaan yang mengakibatkan luka berat atau meninggal dunia, kendaraan bermotor sebagai alat atau diduga hasil tindak pidana, serta dalam kasus lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. “Jangan terkejut apabila pada saat melakukan registrasi pengesahan kendaraan bermotor, kondisi kendaraan tersebut ternyata dalam keadaan terblokir,” ujarnya.
Mantan Kepala Subdirektorat Pembinaan dan Penegakan Hukum (Kasubdit Bin Gakkum) AKBP (Purn) Budiyanto, S.H., S.Sos., M.H., menjelaskan bahwa pemilik kendaraan bermotor dapat menanyakan alasan pemblokiran. Apabila pemblokiran disebabkan oleh pelanggaran lalu lintas, pemilik dapat melakukan pengecekan atau konfirmasi ke Posko E-TLE atau Subdit Gakkum. Kendaraan bermotor yang terdeteksi oleh CCTV E-TLE dan dari hasil analisis serta verifikasi masuk dalam klasifikasi pelanggaran lalu lintas, petugas akan melakukan penilangan terhadap pengemudi yang melakukan pelanggaran tersebut.
Lebih lanjut, Budiyanto menekankan bahwa subjek hukum terhadap pelanggaran lalu lintas adalah pengemudi kendaraan bermotor yang tertangkap oleh CCTV E-TLE saat pelanggaran terjadi. Dalam blangko tilang nantinya akan tercantum nomor BRIVA yang dapat digunakan oleh pelanggar untuk menitipkan atau mentransfer denda tilang sebesar denda maksimal ke Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang telah ditunjuk.
“Namun, apabila di kemudian hari penetapan putusan pengadilan lebih kecil dari uang denda yang dititipkan di bank, hal tersebut harus disampaikan kepada pelanggar untuk diambil, baik secara manual dengan datang ke kejaksaan atau melalui sistem yang tersedia,” jelasnya.
Budiyanto juga menambahkan, sisa uang denda yang tidak diambil dalam waktu satu tahun sejak penetapan putusan pengadilan akan disetorkan ke kas negara. Hal ini sesuai dengan Pasal 268 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyatakan bahwa sisa uang denda yang tidak diambil dalam waktu satu tahun sejak penetapan putusan pengadilan akan disetorkan ke kas negara.
“Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kendaraan bermotor dapat dilakukan penyitaan dalam kasus pidana, baik pidana pelanggaran lalu lintas maupun kejahatan lainnya,” tambah Budiyanto.
Ia menutup pernyataannya dengan menjelaskan bahwa dalam hal kendaraan bermotor terdeteksi sebagai sarana melakukan pelanggaran pidana lalu lintas, untuk membuka blokir cukup dengan memenuhi kewajiban membayar denda tilang sesuai dengan penetapan putusan pengadilan. “Bukti pembayaran denda tilang akan menjadi dasar untuk membuka blokir kendaraan,” pungkasnya. (Sn)