Jakarta|EGINDO.co Pertumbuhan ekonomi nasional pascapandemi Covid-19 terus mengalami peningkatan. Sempat terpuruk pada 2020, ekonomi nasional 2021 dan 2022 tumbuh masing-masing sebesar 3,7% dan 5,31%.
BPS merilis pertumbuhan PDB 2022 sisi pengeluaran, didominasi oleh konsumsi rumah tangga, dengan komponen ekspor dan impor tumbuh paling tinggi, sedangkan dari sisi lapangan usaha, sektor industri menjadi kontributor utama perekonomian.
Tumbuhnya demand terutama rumah tangga, mendorong sektor industri meningkatkan produksinya. Akibatnya, bahan baku/penolong yang sebagian besar impor mendorong kinerja impor nasional, sedangkan peningkatan kapasitas produksi, mendorong impor barang modal.
Komoditas impor utama nasional, sebenarnya didominasi barang impor curah dan tanpa kemasan. Pada 2022, impor nasional didominasi bahan bakar, besi baja dasar, minyak bumi, gas alam, hingga gandum.
Tumbuhnya ekonomi yang digerakkan demand masyarakat dan aktivitas sektor industri, menuntut kinerja logistik yang mumpuni. Cakupan logistik yang luas, yaitu sejak pengiriman barang oleh produsen (eksportir), diterima pemesan (importir), hingga diterima konsumen akhir, tentu proses yang tidak sederhana.
Biaya logistik nasional yang dinilai tinggi, disoroti menjadi salah satu penghambat pertumbuhan ekonomi. Logistik nasional versi Logistics Performance Index (LPI), belum memperlihatkan kinerja yang meyakinkan. Peringkat dan nilainya relatif stagnan, sepanjang tahun 2012 hingga 2023 belum bisa menembus peringkat 40 besar dunia.
Konsep pembangunan logistik oleh pemerintah memang sudah ada, di antaranya adalah pembangunan infrastruktur dimana pelabuhan termasuk didalamnya. Nah, Dwelling Time (DT) merupakan salah satu dari sekian banyak tahapan dalam logistik, terutama di pelabuhan.
DT menjadi penting, mengingat durasi yang terlalu lama berpotensi menambah biaya logistik. Biaya logistik yang tinggi, akan mendisrupsi perekonomian melalui sektor industri, karena pasokan bahan baku/penolongnya terganggu.
Analisis data DT, impor nasional, dan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor industri sepanjang 2017—2022, menunjukkan bahwa DT berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (sektor industri). Meskipun memang percepatan DT, tidak serta merta mendorong pertumbuhan ekonomi atau inelastis.
Analisis pada jumlah kontainer impor, menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan.Indikasi bahwa banyaknya konteiner, tidak selalu menggambarkan geliat perekonomian nasional. Komoditas utama impor nasional yang didominasi barang curah dan tanpa kontainer, diperkirakan menjadi penyebabnya.
Analisis atas volume impor sektor industri, menunjukkan pengaruh signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Aktivitas impor nasional yang sekitar 75% didominasi bahan baku/penolong dan sekitar 13% impor barang modal, diperkirakan sebagai penyebabnya.
DT erat kaitannya dengan kontainer, tetapi dinamikanya ternyata tidak sama. Tren keduanya memang masih ideal pada 2018—2020, di mana makin sedikit jumlah kontainer makin baik pula DT, bahkan perbaikannya signifikan.
Polanya mulai berubah pada 2021, meskipun jumlah kontainer tahun itu lebih banyak dibandingkan 2020 dan 2022 (2,3 juta unit), tetapi DT-nya justru yang tercepat (2,80 hari).
Padahal pada 2022 dengan jumlah kontainer hanya 2,14 juta unit (paling sedikit), DT-nya malah menjadi yang terlama (2,84 hari).
PENGARUH DT
Kinerja DT yang terjaga, dampak dari kebijakan pemindahan konteiner atau Over Brengen (OB) yang melewati batas waktu penumpukan (long stay) yaitu maksimal 3 hari sejak ditumpuk di lapangan penumpukan di dalam pelabuhan (lini 1). Pemindahan penumpukan sebenarnya tidak hanya karena long stay, tetapi juga apabila Yard Occupancy Ratio (YOR) tempat penumpukan lini 1 melampaui batas utilisasi (65%).
Data 3 tahun terakhir menunjukkan hanya sekitar 33% kontainer impor memiliki DT lebih dari 3 hari. Kontainer long stay tersebut, rata-rata penumpukannya sekitar 6 hari. Ilustrasi pada kontainer dry 20 FCL menunjukkan bahwa biaya yang ditanggung pelaku usaha bila dipindahkan ke lini 2 pada hari ke 4, dengan rata-rata penumpukan 6 hari adalah Rp2,2 juta.
Namun, bila tidak dilakukan pemindahan (di hari ke 4) atau kontainer tetap di lini 1, maka terjadi perbedaan biaya. Pelaku usaha hanya mengeluarkan sekitar Rp1,8 juta. Biaya yang lebih sedikit ini disebabkan karena pemilik kontainer tidak terkena biaya jasa lift on/off ke depo dan biaya OB.
Kondisi di atas mengindikasikan bahwa kebijakan pemindahan kontainer long stay cukup efektif dalam menekan durasi DT. Terbukti sepanjang 2020—2022 hanya sekitar 33% konteiner impor DT-nya lebih dari 3 hari, dan hampir 70% sisanya di bawah 3 hari (rata-rata 1,37 hari).
Namun, sayangnya efektifitas DT tidak terjadi pada efisiensi biaya. Karena biaya pada kontainer long stay yang dipindahkan lebih besar dibandingkan kontainer yang tidak dipindahkan ke lini 2.
World Bank dalam LPI tahun 2023 menyatakan lamanya bongkar muat memang mengindikasikan adanya masalah kinerja. Meskipun demikian, singkatnya DT juga tidak serta merta mengindikasikan tingginya kinerja logistik. Karena kinerja DT disebabkan banyak faktor, seperti produktivitas penanganan di pelabuhan, kepadatan kota, penyiapan dokumen perdagangan, hingga fasilitas penyimpanan pelabuhan.
Kondisi di atas bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah, bahwa sebenarnya percepatan DT bukan segalanya. Ternyata DT yang lebih cepat tidak serta merta mendorong peningkatan atau pertumbuhan ekonomi terutama sektor industri (inelastis).
Inelastisitas DT terhadap pertumbuhan ekonomi pada sektor industri, diperkirakan disebabkan karena keterkaitan DT yang relatif jauh dengan faktor utama ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh daya saing nasional dan produktivitas yang tinggi. Padahal menurut Navickas, tingginya produktivitas dipengaruhi luasnya bisnis, waktu transit yang singkat, dan biaya logistik yang rendah.
Sumber: Bisnis.com/Sn