Jakarta | EGINDO.com – Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025 yang tiba-tiba diumumkan pemerintah lewat Presiden Prabowo untuk mewash satu kebijaksanaan yang sangat rumit karena sebelumnya diumumkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 tanpa menyebut untuk hanya barang mewah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Hal itu dikatakan pengamat sosial, ekonomi kemasyarakatan Dr. Rusli Tan, SH, MM kepada EGINDO.com pada Senin (6/1/2025) di Jakarta menanggapi tentang viralnya di Media Sosial (Sosmed) bahwa kenaikan PPN 12 persen bukan hanya barang mewah akan tetapi belanja kebutuhan pokok seperti beras, makanan di supermarket juga kena PPN 12 persen yang membuat rakyat dirugikan dari kebijaksanaan yang tidak bijak dari pemerintah dalam mengelola pajak.
Sangat dikesalkan Rusli Tan sebab jauh hari sebelumnya pemerintah tetap ingin menaikkan PPN 12 persen per 1 Januari 2025 sehingga belum lagi 1 Januari 2025 harga-harga barang kebutuhan pokok di pasaran sudah pada naik. “Kwe tisu goreng seafood saja di Jakarta Utara sudah naik menjadi Rp 55.000,- dan pembeli semakin sepi karena memang kondisi ekonomi, daya beli masyarakat sedang anjlok,” kata Rusli Tan kesal.
Harusnya kata Rusli Tan, aparat pemerintah mendengar protes berbagai kalangan masyarakat atas ketidaksetujuan naiknya PPN 12 persen per 1 Januari 2025. Namun, protes itu tidak didengar dan tidak mau turun ke lapangan melihat kondiri daya beli masyarakat yang melorot, tidak mau melihat para pedagang makanan dan kebutuhan pokok yang sepi pembeli akibat daya beli masyarakat yang lemah.
Menurutnya wajar viral di medsos tentang kenaikan PPN 12 persen bukan hanya barang mewah karena faktanya memang benar dan itu kesalahan pemerintah yang tiba-tiba pada 31 Desember 2024 mengumunkan kenaikan PPN 12 persen hanya untuk barang mewah sementara system yang sudah dipersiapkan naik PPN 12 persen bukan saja untuk barang mewah. “Kacaukan, karena tidak bisa asal ngomong saja bisa tiba tiba berubah. Harusnya jauh hari disiapkan sehingga rakyat tidak dirugikan seperti sekarang ini,” kata Rusli Tan menjelaskan.
Menurut Rusli Tan sejak awal harusnya turun ke lapangan, melihat kondisi dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) itu diamandemen, bukan tiba-tiba ngomong akan tetapi UU HPP-nya masih tetap. Dikatakannya, harusnya peraturannya disiapkan dulu, kemudian disosialisasikan kepada masyarakat. “Kacau memang kalau ngomong dulu, baru buat aturan. Harusnya buat aturan dulu setelah baik aturan itu, baru dingomongkan, itulah system yang benar. Kalau kini masyarakat dirugikan bahwa ternyata PPN 12 persen itu bukan hanya barang mewah, siapa yang bertanggungjawab, bagaimana mengembalikan uang PPN yang kelebihan itu,” katanya mempertanyakan.@
Rel/fd/timEGINDO.com