Jakarta|EGINDO.co Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengungkapkan bahwa rendahnya rasio penerimaan pajak Indonesia dalam beberapa tahun terakhir tidak lepas dari adanya policy gap yang muncul akibat beragam insentif perpajakan. Kondisi ini membuat kemampuan negara dalam memaksimalkan penerimaan menjadi terbatas.
Dalam lima tahun setelah pandemi, rasio pajak—tanpa memasukkan komponen bea dan cukai belum pernah menembus level 9% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk tahun 2025, realisasi baru berada pada kisaran 8,58% dari target 9%, sementara total tax ratio termasuk bea dan cukai ditetapkan sebesar 10,25%.
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menjelaskan bahwa struktur ekonomi nasional yang masih sangat bertumpu pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berkontribusi besar terhadap sempitnya basis pajak. Sejumlah pelaku UMKM dengan omzet sampai Rp500 juta dibebaskan dari PPh, sedangkan yang memiliki omzet hingga Rp4,8 miliar hanya dikenai tarif final 0,5%. Kebijakan ini, meski mendukung pelaku usaha kecil, pada saat yang sama membatasi potensi penerimaan negara.
Selain itu, beberapa sektor menunjukkan ketimpangan antara besarnya kontribusi terhadap PDB dan setoran pajaknya. Sektor pertanian dan konstruksi menjadi contoh menonjol, karena banyak aktivitasnya yang dikecualikan dari kewajiban pajak serta dominasi pekerja informal. Sebaliknya, sektor industri pengolahan dan perdagangan—yang selama ini menjadi tulang punggung penerimaan sedang mengalami perlambatan sehingga memengaruhi kinerja pajak secara keseluruhan.
Di sisi lain, kinerja ekspor yang meningkat tidak sepenuhnya tercermin dalam penerimaan pajak. Hal ini disebabkan kebijakan PPN ekspor yang tetap sebesar 0%, sehingga lonjakan nilai ekspor tidak memberikan tambahan kontribusi berarti ke kas negara. Tekanan terhadap penerimaan juga datang dari tingginya restitusi pajak yang melonjak 38,81% hingga kuartal III/2025.
DJP menegaskan bahwa pembenahan kebijakan insentif dan penguatan basis pajak diperlukan untuk meningkatkan kemampuan negara dalam menghimpun pendapatan secara lebih optimal dan berkelanjutan. Dengan demikian, rasio pajak Indonesia dapat ditingkatkan agar lebih sejalan dengan kebutuhan pembangunan nasional. (Sn)