Ditjen Pajak Tak Boleh Langgar Aturan demi Kejar Setoran

Ditjen Pajak
Kantor Ditjen Pajak

Jakarta | EGINDO.com – Ketua Umum Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5I) Alessandro Rey menyoroti munculnya gejala negara yang terlalu berfokus pada penerimaan pajak tanpa mengindahkan aturan hukum dan prinsip keadilan. Dalam paparannya di Seminar Nasional Pajak yang diselenggarakan pada Selasa (27/5/2025), Rey memperkenalkan istilah Taxstaat, sebagai fenomena baru yang dianggap menyimpang dari prinsip negara hukum atau Rechtsstaat.

Rey menyoroti praktik pemeriksaan pajak yang dilakukan melebihi batas waktu, namun tetap dinyatakan sah oleh otoritas. Menurut Rey, hal itu mencerminkan kondisi Taxstaat, yakni sebuah penyimpangan dari prinsip negara hukum. Yakni, target fiskal dijadikan pembenaran untuk mengabaikan prosedur hukum yang sah.

Dijelaskannya proses pemeriksaan pajak memiliki 19 tahapan formal, dari penyampaian Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) hingga terbitnya Surat Ketetapan Pajak (SKP). Bila salah satu tahapan, termasuk batas waktu, tidak dijalankan sesuai aturan, maka keseluruhan proses dapat dinilai cacat hukum. Dia menyoroti pernyataan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menyebut bahwa batas waktu pemeriksaan hanya merupakan instrumen manajerial, bukan hukum substantif. Kalau prosedur dilanggar tapi hasilnya tetap dianggap sah, untuk apa hukum dibuat?

Dalam kesempatan itu, Rey turut mengkritik kebijakan internal DJP yang melarang penggunaan rekaman audio-visual dalam pemeriksaan pajak, meskipun Peraturan Dirjen Pajak (PER-07 Tahun 2017) justru mewajibkannya. Menurutnya, larangan tersebut adalah bentuk nyata penyalahgunaan kewenangan dan hambatan terhadap transparansi. “Rechtsstaat tidak memberi ruang untuk tebang pilih. Semua peraturan, dari UU hingga PER DJP (Peraturan Dirjen Pajak) adalah bagian dari hukum positif yang harus dihormati, bukan diabaikan dengan dalih efisiensi atau target,” kata Rey.

Diingatkannya bahwa dalam sistem negara hukum, setiap keputusan administratif harus memenuhi tiga unsur, yakni kewenangan pejabat, prosedur yang sah, dan substansi yang tepat. Jika SKP diterbitkan dengan melanggar prosedur, termasuk ketentuan waktu, maka harus dapat dibatalkan demi keadilan.@

Bs/timEGINDO.com

 

Scroll to Top