Depresiasi Rupiah: Isyarat Tekanan Makroekonomi yang Mesti Diwaspadai

ilustrasi
ilustrasi

Jakarta|EGINDO.co  Depresiasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti penurunan nilai suatu mata uang terhadap mata uang asing. Dalam konteks perekonomian nasional, depresiasi rupiah terjadi saat nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Fenomena ini dipicu oleh berbagai faktor, baik eksternal maupun internal, yang saling bereskalasi.

Mengacu pada data dari Kementerian Keuangan RI, beberapa faktor utama depresiasi meliputi tingkat pengangguran yang meningkat, akumulasi utang luar negeri yang tinggi, defisit neraca perdagangan, dan laju pertumbuhan ekonomi yang melambat. Catatan mencengangkan dilaporkan pada 7 April 2025, ketika rupiah mencapai titik terendah di Rp 17.261 per dollar AS, menandai tekanan berat dalam sistem ekonomi domestik.

Menurut Reuters, depresiasi tajam rupiah beberapa waktu lalu memaksa Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar NDF dan spot, serta menahan suku bunga acuannya di level 5,75 % pada April demi mendukung stabilitas mata uang Reuters. Bahkan, isu tarif impor AS sebesar 32 % turut menambah ketidakpastian eksternal, yang pada gilirannya memperlambat pertumbuhan ekonomi — diproyeksikan turun 0,3–0,5 % akibat kebijakan tersebut .

Data perdagangan luar negeri pun memperlihatkan tren yang kurang menggembirakan. Surplus perdagangan Indonesia pada April menyusut ke level terendah sejak lima tahun terakhir, yakni hanya US $160 juta, jauh dari perkiraan sebelumnya US $3 miliar—yang menunjukkan lemahnya permintaan ekspor.

Inflasi dalam negeri relatif stabil, tetap berada dalam kisaran aman, yaitu antara 1,0–2,0 % sepanjang semester pertama tahun ini. Namun, stabilitas harga-harga ini muncul dalam konteks daya beli yang melemah akibat depresiasi mata uang, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap goncangan inflasi impor.

Kesimpulannya, kurs rupiah yang melemah mencerminkan dinamika yang kompleks: tekanan dari luar (misalnya tarif AS), tantangan struktural domestik, serta langkah moneter strategis dari Bank Indonesia. Fluktuasi nilai tukar ini berkaitan erat dengan variabel makro seperti inflasi, neraca perdagangan, dan kepercayaan pelaku ekonomi. Pemerintah bersama BI harus menjaga kestabilan ini melalui intervensi pasar dan kebijakan fiskal yang prudent.

Sumber: rri.co.id/Sn

Scroll to Top