Jakarta|EGINDO.co Budiyanto, seorang pemerhati masalah transportasi dan hukum, mengungkapkan bahwa salah satu penyebab tingginya angka pelanggaran lalu lintas di Indonesia adalah rendahnya sanksi denda yang dijatuhkan dibandingkan dengan ancaman denda maksimal yang diatur dalam peraturan. Hal ini, menurutnya, berdampak pada rendahnya efek jera terhadap pelanggar.
Proses penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas di Indonesia menggunakan mekanisme acara cepat. Dalam mekanisme ini:
- Penyidik mengirimkan data atau catatan pelanggaran langsung ke pengadilan pada sidang pertama untuk mendapatkan putusan.
- Pelanggar dapat memilih untuk tidak menghadiri persidangan dengan cara menitipkan denda maksimal melalui bank yang telah ditunjuk oleh pemerintah menggunakan rekening Bank Rakyat Indonesia Virtual Account (BRIVA).
- Struk bukti setoran denda digunakan untuk mengambil barang bukti yang disita atau sisa denda, apabila putusan pengadilan menetapkan jumlah denda yang lebih rendah daripada jumlah yang dititipkan.
Budiyanto menyoroti bahwa putusan pengadilan seringkali jauh lebih rendah daripada ancaman denda maksimal. Rendahnya denda ini dianggap sebagai salah satu variabel utama yang menyebabkan masyarakat cenderung abai terhadap aturan lalu lintas. Tanpa adanya sanksi yang tegas dan memberikan efek jera, perilaku pelanggaran sulit untuk diubah.
Budiyanto membandingkan situasi di Indonesia dengan negara-negara maju seperti Singapura dan Inggris. Menurutnya, tingkat kedisiplinan lalu lintas yang tinggi di negara-negara tersebut didukung oleh dua faktor utama:
- Sistem yang kuat, yang tidak memberikan celah bagi penyimpangan oleh aparat penegak hukum.
- Denda yang tinggi, sehingga memberikan efek jera yang efektif bagi pelanggar.
Ia menambahkan bahwa sistem yang kuat dan penerapan denda yang tinggi dapat mengubah pola pikir masyarakat untuk lebih disiplin. Kedua hal ini dianggap sebagai komponen penting dalam membangun budaya tertib lalu lintas.
Budiyanto menjelaskan bahwa membangun kedisiplinan merupakan proses yang panjang. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan menerapkan sistem yang memaksa masyarakat untuk mematuhi aturan. Ketika kepatuhan sudah menjadi kebiasaan, maka akan terbentuk budaya disiplin yang kokoh di jalan raya.
Ia juga menegaskan bahwa lalu lintas tidak hanya sekadar pergerakan orang dan barang, tetapi juga mencerminkan urat nadi kehidupan, cermin budaya, dan indikator modernitas suatu bangsa. Oleh karena itu, reformasi sistem lalu lintas dan penerapan sanksi yang tegas menjadi langkah strategis untuk menciptakan masyarakat yang lebih disiplin dan tertib. (Sadarudin)