Jakarta|EGINDO.co Gelombang bencana alam yang melanda sejumlah provinsi di Sumatra—mulai dari banjir bandang hingga tanah longsor—kian menegaskan rapuhnya kondisi ekologis kawasan tersebut. Cuaca ekstrem yang dipicu perubahan iklim hanya menjadi salah satu pemicu; kerusakan tutupan hutan akibat deforestasi masif disebut sebagai faktor yang memperburuk skala bencana.
Laporan pemantauan hutan yang dirilis sejumlah lembaga lingkungan menunjukkan bahwa deforestasi netto di Sumatra terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Data yang dihimpun Forest Watch Indonesia (FWI) juga mencatat penurunan produksi kayu secara signifikan, mengindikasikan bahwa hilangnya hutan lebih banyak terdorong oleh alih fungsi lahan, bukan pemanfaatan hasil hutan lestari. Dari seluruh provinsi di Sumatra, Riau tercatat sebagai penyumbang terbesar deforestasi netto, terutama akibat ekspansi perkebunan dan industri berbasis lahan.
Di saat yang sama, konflik agraria kembali mengemuka di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa sebagian besar konflik dipicu oleh tumpang tindih klaim lahan antara masyarakat, korporasi, dan proyek pemerintah. Penguasaan kawasan hutan dan tanah konsesi yang semakin luas dinilai mempersempit ruang hidup masyarakat adat dan petani lokal.
Para aktivis menilai kedua persoalan tersebut saling berkaitan. Degradasi hutan menghilangkan fungsi penting bentang alam sebagai penyangga air dan penahan erosi, sehingga wilayah menjadi jauh lebih rentan terhadap banjir bandang maupun longsor. Ketika bencana terjadi, masyarakat yang telah lama berada dalam tekanan konflik agraria menjadi kelompok yang paling terdampak.
Pengamat kebijakan publik mendorong pemerintah untuk menata ulang izin penggunaan lahan serta memperkuat instrumen pengawasan agar tidak terjadi eksploitasi berlebihan. Tanpa langkah korektif yang tegas, berbagai analisis memprediksi Sumatra akan menghadapi intensitas bencana yang semakin meningkat dalam beberapa tahun ke depan. (Sn)