Jakarta | EGINDO.com – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengeluarkan hasil riset, memuat dampak makroekonomi dari kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok di Indonesia.
Penasihat Riset CISDI Teguh Dartanto mengatakan, dalam riset ini melakukan simulasi dari beberapa skenario analisis yakni simulasi kenaikan cukai.
“Temuannya adalah konsumsi rokok itu akan menurun jika ada kenaikan cukai dan terjadi kenaikan penerimaan negara ketika cukai dinaikkan, sehingga dampaknya terhadap ekonomi itu positif,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Senin (25/10/2021).
Menurut Teguh, wacana kenaikan cukai rokok selama ini selalu memicu pro dan kontra, di mana ada pihak menentang dengan alasan akan berdampak negatif terhadap ekonomi dan kesehatan.
“Kali ini, CISDI tidak hanya menyoroti dari sisi kesehatan untuk pengendalian konsumsi. Namun, juga dampak ekonomi dari kebijakan cukai yang belum optimal,” katanya.
Di sisi lain, dia menambahkan, bahwa memang dalam kondisi saat ini terdapat kenaikan jumlah perokok anak sangat tajam.
“Ini disebabkan keterjangkauan harga rokok karena cukai belum optimal atau belum sesuai dari yang diharapkan,” pungkas Teguh.
Diberitakan sebelumnya, pemerintah bakal mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok tahun 2022, pada Oktober 2021.
Kepala Sub Bidang Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Sarno menyebut target penerimaan cukai rokok hampir Rp 173 triliun tahun ini naik jadi Rp 193 triliun tahun depan.
Artinya target naik hampir Rp 20 triliun atau setara 11,56 persen.
Cukai Rokok Bakal Naik Lebih Tinggi Tahun Depan
Pemerintah bakal mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok tahun 2022, pada Oktober 2021. Pemerintah memang butuh banyak fulus untuk membiayai belanja tahun depan, selain mengendalikan konsumsi rokok sesuai filosofi instrumen cukai.
Hingga saat ini, pemerintah memang belum mau membocorkan besaran kenaikan tarif tersebut. Yang jelas, kenaikan tarif cukai rokok diharapkan dapat menambal kenaikan target penerimaan cukai rokok sebesar Rp 20 triliun pada tahun depan, dari outlook tahun ini.
Kepala Sub Bidang Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Sarno Kamis (21/10) menyebut target penerimaan cukai rokok hampir Rp 173 triliun tahun ini naik jadi Rp 193 triliun tahun depan.
Artinya target naik hampir Rp 20 triliun atau setara 11,56%.
Dengan kenaikan target penerimaan cukai rokok tahun depan, kenaikan tarif cukai rokok berpotensi lebih tinggi dari tahun ini.
Sebab, dengan rerata peningkatan tarif cukai rokok 2021 sebesar 12,5% saja, tambahan penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tahun ini diperkirakan sebesar Rp 8,84 triliun.
Asal tahu saja, target penerimaan cukai rokok 2021 sebesar Rp 173,78 triliun. Angka tersebut naik 5,35% dari target tahun 2020 sebesar Rp 164,94 triliun.
Sementara itu, per akhir Agustus 2021, realisasi penerimaan cukai rokok telah mencapai Rp 111,12 triliun, atau meningkat sebesar 17,73% year on year (yoy).
Pencapaian tersebut setara dengan 63,94% dari target akhir tahun ini.
Artinya, dalam di sisa empat bulan di tahun ini, pemerintah harus mengumpulkan penerimaan cukai rokok sebesar Rp 62,66 triliun untuk mencapai target tersebut.
Formula kenaikan tarif cukai rokok selama ini telah mengikuti rekomendasi organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO), yakni di atas target pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan sebesar 5,2% dan target inflasi sebesar 3% yoy. Sehingga, minimal kenaikan tarif cukai rokok 2022 sebesar 8,2%.
Namun demikian, Sarno menambahkan, kebijakan cukai rokok tahun depan masih akan mempertimbangkan aspek kesehatan, tenaga kerja, petani tembakau, pengendalian rokok ilegal, dan penerimaan negara.
Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian Ating Soekirman menambahkan, kebijakan cukai rokok tahun depan harus memerhatikan aspek industri.
Terlebih, industri hasil tembakau telah menyumbang lebih dari 10% penerimaan negara.
“Policy harus menyeimbangkan kepentingan isu industri, revenue, pertanian tembakau, tenaga kerja. Ini perlu diperhatikan karena industrinya juga merupakan tulang punggung dari PDB Indonesia,” ujarnya.
Sumber: Tribunnews/Sn