Kesemberautan lalu lintas di ibukota Indonesia, Jakarta semakin parah. Untuk itu Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang membatasi volume kendaraan melalui aturan ganjil-genap menuai tanggapan beragam dari berbagai kalangan.
Peraturan yang dibuat pada dasarnya bagaimana bisa mengurai kemecetan lalulintas di ibukota Indonesia dan mengurangi polusi udara karena kualitas udara di Jakarta acapkali dalam kondisi tidak sehat. Satu penyebab dari kualitas udara tidak sehat di ibukota Indonesia itu disebabkan dari gas buang kendaraan yang melintas di ibukota.
Memang harus diakui kualitas udara tidak sehat bukan saja disebabkan gas buang kendaraan akan tetapi juga karena tata ruang dan ruang terbuka hijau di ibukota yang sangat minim, tidak sampai 30 persen dari luas ibukota Indonesia itu. Pada hal angka 30 persen dari luas wilayah ibukota itu adalah angka minimum dan faktanya dibawah angka 30 persen sehingga menyebabkan kualitas udara di ibukota tidak sehat.
Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara menjadi salah satu rujukan hukum tentang perluasan ganjil genap di 16 ruas jalan Jakarta yang diuji coba mulai 7 Agustus hingga 8 September 2019. Kendaraan dengan nomor polisi ganjil beroperasi pada tanggal ganjil, sedangkan kendaraan dengan nomor polisi genap beroperasi pada tanggal genap. Perluasan tersebut berlaku di Jalan Pintu Besar Selatan, Jalan Gajah Mada, Jalan Hayam Wuruk, Jalan Majapahit, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Panglima Polim.
Kemudian Jalan Fatmawati mulai simpang Jalan Ketimun 1 sampai dengan Jalan TB Simatupang. Selanjutnya Jalan Suryopranoto, Jalan Balikpapan, Jalan Kyai Caringin, Jalan Tomang raya, Jalan Pramuka, Jalan Salemba Raya, Jalan Kramat Raya, Jalan Senen Raya dan Jalan Gunung Sahari.
Koridor satu yang semula Sudirman-Thamrin-Merdeka Barat akan diperpanjang di sisi utara mulai dari Jalan Majapahit, Gajah Mada, Hayam Wuruk sampai dengan Kota. Kemudian di sisi selatan akan diperpanjang di Jalan Sisingamangaraja, Jalan Panglima Polim sampai Fatmawati dan Simpang TB Simatupang.
Sedangkan kendaraan yang dikecualikan dalam ganjil-genap adalah kendaraan yang membawa masyarakat disabilitas melalui pemasangan stiker khusus, pemadam kebakaran dan angkutan umum plat kuning, kendaraan angkutan barang yang mengangkut BBM dan BBG. Selain itu kendaraan pimpinan tinggi negara (presiden, wakil presiden, Ketua MPR, DPR, DPD, Ketua MA, MK, KY dan BPK). Selanjutnya kendaraan operasional berplat dinas kantor pemerintah/TNI/Polri, kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara serta kendaraan yang tujuannya ingin memberikan pertolongan pada saat terjadi kecelakaan lalu lintas.
Begitu juga dengan sepeda motor memang saat ini cukup tinggi pada koridor yang ada ganjil-genap, tetapi  masih dikecualikan. Alasannya karena menurut pemerintah DKI jakarta tidak berpengaruh besar terhadap peningkatan kinerja lalu lintas.
Aturan ganjil genap kendaraan di ibukota Indonesia, banyak kalangan menilai sangat membebani rakyat. Hal itu tidak semua orang kaya punya dua mobil atau lebih. Masyarakar protes karena kendaraan itu sudah membayar pajak penuh. Penolakan juga datang dari pengendara angkutan umum berbasis online di beberapa ruas jalan Ibu Kota. Pengendara Grab Car, menilai aturan ganjil genap berimbas pada berkurangnya jumlah penumpang hingga kesulitan mencari titik jemput.
Warga Jakarta tidak memberatkan warga dalam beraktivitas. Diakui memang kemacetan lalulintas ada di Jakarta. Terlepas dari pro-kontra masyarakat terhadap kebijakan ganjil-genap, pemerintah saat ini dituntut memiliki kajian serius bagi masa depan Jakarta. Konsistensi kebijakan menjadi hal terpenting sebagai tolak ukur hasil yang akan diraih kelak. Artinya, rakyat tidak dirugikan dan perekonomian berjalan lancar dan kemacetan dapat dikurangi@