Medan | EGINDO.co – Tanaman Kelapa Sawit adalah tanaman paling popular di Indonesia meskipun bukan tanaman asli Indonesia. Kementerian Pertanian (Kementan) Republik Indonesia (RI) mencatat, luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2021 mencapai 15,08 juta hektare (ha). Ternyata luas perkebunan tersebut naik 1,5% dibanding tahun sebelumnya yakni seluas 1,48 juta ha.
Dari 15,08 juta ha, mayoritas dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) yaitu seluas 8,42 juta ha (55,8%). Berdasarkan data Kementerian Pertanian, jumlah petani sawit di Perkebunan Rakyat (PR) pada 2019 diperkirakan mencapai 2,74 juta kepala keluarga (KK). Jumlah tersebut meningkat 2,5% dibanding tahun sebelumnya sebanyak 2,67 juta KK.
Sebuah angka yang sangat berpengaruh bagi perekonomian Indonesia. Hal itu karena pasar ekspor minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) adalah jenis minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi masyarakat dunia. Bila demikian maka bersyukurlah para petani kelapa sawit di Indonesia, tanaman yang sangat menjanjikan bagi kehidupan petani di Indonesia.
Namun, fakta yang ada hari ini petani Kelapa Sawit Indonesia bingung dan “menjerit”. Pasalnya kini petani kelapa sawit Indonesia terancam bangkrut. Masalahnya bukan pada budidaya tanaman Kelapa Sawit, bukan pada masalah benih dan bibit Kelapa sawit, bukan pada masalah lahan perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia, bukan masalah para petani Kelapa Sawit malas bercocoktanam Kelapa Sawit. Bukan.
Petani Kelapa Sawit bingung, “menjerit” karena tata kelola kelapa sawit yang membuat petani Kelapa Sawit terancam bangkut. Terancam bangkrut karena dampak dari kebijakan iklim usaha yang tidak berpihak kepada sistem kreatif produktif.
Fakta yang ada hari ini banyak Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang tutup sementara tutup bukan karena bahan baku tidak ada. Biasanya sebuah pabrik tutup disebabkan bahan baku yang langka, berkurang atau tidak mencukupi untuk produksi pabrik. Ternyata produksi Kelapa Sawit baik baik saja, Tandan Buah Segar (TBS) dari petani melimpah dan kualitasnya baik.
Sudah hampir ratusan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) tutup dan tidak menerima TBS Kelapa sawit dari petani. Hampir ratusan PKS tutup dan harga TBS Kelapa Sawit anjlok sampai Rp 800 per kg yang mana sebelumnya Rp3.800 per kg.
Posisi harga TBS Kelapa Sawit dibawah Rp1000 per kg sudah dapat dipastikan petani Kelapa Sawit rugi karena biaya operasional saja tidak tertutupi. Para petani Kelapa Sawit di Indonesia wajar bingung sebab harga TBS Kelapa Sawit di Malaysia sekarang Rp5.000 per kg.
EGINDO.co mengutip perhitungan seorang petani Kelapa Sawit bernama Wayan Supadno menuliskan berbagai beban pajak ekspor, pungutan dan flush out “terlalu besar” tidak wajar 55% (Rp11 juta/ton: Rp 20 juta/ton X 100%) dari harga CPO global. Petani kecil massal dibangkrutkan demi pajak pungutan berlebihan.
Dituliskannya, PKS makin banyak yang tutup karena “terlalu beratnya” syarat ekspor yakni diantaranya; 1. Pajak ekspor/bea keluar US $ 288/ton. 2. Pungutan ekspor oleh BPDPKS US $ 200/ton. 3. Flush out US $ 200/ton. Dengan demikian total beban US $ 688 setara Rp11 juta per ton.
Padahal tulis petani Kelapa Sawit Wayan Supadno harga CPO global hanya US $ 1.380 setara Rp20 juta/ton. Jika dipotong pajak pungutan dan flush out Rp11 juta/ton. Tinggal Rp9 juta/ton, di Pelabuhan. Belum biaya kirim dari PKS dan biaya lainnya.
Bahkan hari ini 28 Juni 2022 harga CPO Rp7 jutaan/ton (KPBN). Sungguh sangat mengkhawatirkan. Kesempatan emas “harga cantik” di pasar global tanpa dimanfaatkan dengan bijak. Lazimnya, rendemen CPO 20% dari TBS. Maka sangat wajar jika harga di petani hanya Rp 800.000/ton. Padahal biaya produksi sejak perang Rusia Ukraina Rp1,8 juta/ton. Petani rugi Rp1 juta/ton.
Kondisi ini menurut Wayan Supadno petani terancam sumber pangan dan biaya sekolah anak-anaknya. “Saat Presiden Joko Widodo semangat mencari investor, tetapi petani investor massal dikecewakan,” tulis Wayan Supadno.
Sementara itu mengutip perhitungan akademisi dan pakar Kelapa Sawit ada solusinya yakni; Pertama, stok CPO 6,1 juta ton saat ini, biasanya hanya 3 juta ton. Harus dikuras cepat dengan cara ekspor. Karena biasanya volume ekspor 3 juta ton/bulan. Agar tangki segera bisa kosong, untuk mengisi CPO baru dari pohon sawit petani telah banyak yang busuk tidak dipanen. Agar mulai hulu ke hilir dinamis produktif. Rantai pasok ini sangat penting dipahami.
Kedua, agar eksportir bergairah pungutan pajak maksimal Rp 4 juta/ton. Bukan lagi Rp 11 juta/ton. Agar harga CPO pasca pungutan Rp 16 juta/ton. Otomatis harga TBS Rp 3.000/kg (Rp 3 juta/ton) karena rendemen lazim 20%. Bukan Rp 800.000/ton. Sehingga petani dapat laba, eksportir bergairah dan negara dapat pendapatan pajak maupun devisa. HPP dan mekanisme pasar ini penting dipahami.
Kemudian ditambah dengan kewajiban DMO dan DPO. Pertama, DMO dengan seluruh term and conditionnya membuat ekspor mandeg sehingga tanki timbun (storage) penuh. Pada bulan April 2022 saja sudah 6.1 juta ton (Belum pernah dalam sejarah stok setinggi itu).
Kedua, DPO CPO menekan langsung harga TBS ke bawah dan ketiga, pungutan dan bea keluar tidak semuanya beban petani TBS tetapi juga beban konsumen importir, namun ikut menekan harga TBS ke bawah.@
Fd/TimEGINDO.co