Budaya Sistem Hukum Menjadi Daya Tarik Wisata

Batu Kursi Persidangan
Batu Kursi Persidangan

Oleh: Fadmin Malau

Banyak sekali daya tarik wisatawan, mulai dari Rumah Adat Batak di dalam Huta Siallagan sebanyak 8 buah. Satu rumah dihuni lebih dari satu sampai empat keluarga (suami isteri dan anak).

Sayang, ketika melihat rumah adat di Huta Siallagan sudah tidak asli lagi, atap rumah seharusnya terbuat dari ijuk kini diganti dengan menggunakan seng, bangunan rumah seharusnya menggunakan “ransang” papan kayu tanpa paku sebagai penghubung antara bagian yang satu dengan yang lainnya kini diganti dengan menggunakan paku.

Bangunan rumah Batak berdiri diatas tiang-tiang yang kokoh sehingga terdapat ruangan bawah yang disebut “bara” biasanya digunakan untuk kandang hewan piaraan. Bara ini dikelilingi oleh tiang-tiang penyangga rumah yang satu sama lain dihubungkan dengan “ransang”.

Bagian tengah Rumah Adat Batak tidak mempunyai kamar, ruangannya terbuka. Namun, penggunaan lantai ruangan memiliki aturan antara lain disebut ruma soding, ruma suhut dan sebagainya. Bagian atas tidak mempunyai plafon, hanya pada bagian depan dan belakang atas terdapat ruangan yang disebut “Parapara”.

Terdapat suatu hal yang unik ketika melihat atap rumah Adat Batak yaitu sudut bagian depan lebih tinggi dari pada belakangnya, ini dimaknai anak-anak suku Batak harus bisa lebih sukses daripada kedua orangtuanya.

Daya tarik wisatawan lainnya tidak jauh dari deretan rumah Adat terdapat sebuah pohon yang diperkirakan berumur ratusan tahun, disebut Hau Habonaran (pohon kebenaran atau pohon keadilan). Hal itu karena pohon ditanam sebelum membangun Huta, ketika itu para tetua masyarakat berdoa (martonggo) bila pohon yang ditanam tumbuh subur, itu berarti ada kehidupan ditempat tersebut yang akan dijadikan huta atau perkampungan. Dahulu, pada hari-hari tertentu, Raja dan para tetua huta memberikan persembahan atau sesajen di pohon tersebut yang dipercayai bahwa akan mendapatkan berkah yang mereka inginkan.

Batu Kursi Persidangan

Daya tarik wisatawan di Huta Siallagan adanya Batu Kursi (Persidangan), satu bukti bahwa suku Batak memiliki hukum. Batu kursi di Huta Siallagan ditempatkan pada dua lokasi sesuai dengan aturan dan fungsinya yang berbeda.

Kelompok Batu kursi pertama, tepat dibawah pohon kayu Habonaran, tempat ini dipergunakan sebagai tempat rapat-pertemuan Raja dan pengetua adat untuk membicarakan berbagai peristiwa kehidupan warga di Huta Siallagan dan sekitarnya, juga menjadi tempat persidangan atau tempat mengadili sebuah perkara kejahatan.

Menurut penuturan pemandu wisata, kelompok Batu Kursi pertama terdiri dari Kursi Raja dan Permaisuri, Kursi Para Tetua Adat, Kursi Raja dari Huta atau kampung Tetangga dan Datu atau Pemilik Ilmu Kebathinan. Di tempat inilah diputuskan dan ditetapkan peraturan “pemerintahan, kemasyarakatan” dan hukum yang tegas bagi yang melanggarnya.

Artinya, Raja Huta Siallagan tidak akan melakukan sesuatu dengan dasar “kekuasaan” semata, tetapi dilakukan secara musyawarah, mendengarkan pendapat dan usul serta pertimbangan dari para tetua adat yang diundang hadir untuk kemudian menetapkan keputusan secara jujur, adil dan bijaksana.

Pada Batu Kursi selain tempat sosialisasi peraturan hukum adat-istiadat juga dipergunakan untuk menetapkan hukuman bagi orang-orang yang melakukan tindakan kriminal, pelecehan atau pemerkosaan dan pelanggaran lainnya. Hukum ditegakkan melalui proses investigasi, interogasi kepada terdakwa maka Para Pengetua Adat dan Raja dari huta tetangga memberikan usul jenis hukuman yang harus diberikan kepada terdakwa dan oleh Raja Siallagan (dikenal sebagai Raja yang adil dan tegas) ditetapkan menurut peraturan “kerajaan” Siallagan yakni Hukuman Denda, Hukum Penjara (dihukum pasung) dan Hukum Mati (hukum pancung/dibunuh).

Hukum denda biasanya bagi seseorang yang melakukan kesalahan. Hukum Penjara ditetapkan bagi seseorang yang melakukan kejahatan ringan seperti pencuri, berkelahi, memfitnah. Hukum Mati (dipancung) merupakan hukuman yang ditetapkan bagi seseorang yang berbuat kejahatan berat seperti pembunuh, pemerkosa dan menjadi mata-mata musuh.

Jika yang didakwa melakukan kejahatan berat maka melalui persidangan, raja menetapkan hukuman mati (hukuman pancung), maka Raja Siallagan terlebih dahulu menanyakan kepada para Datu tentang hari yang tepat dalam pelaksanaan eksekusi mati melalui Parhalaan (kalender Batak).

Pada hari yang ditentukan Datu dan disetujui Raja, terdakwa atau penjahat berat yang telah ditahan dibawah rumah raja dan tidak diberi makan dibawa ke tempat eksekusi hukuman (pancung) yakni ke kelompok Batu Kursi kedua, diluar kawasan Batu Kursi pertama.

Biasanya setelah mendengar penjelasan dari pemandu wisata, rombongan wisatawan disuruh manortor bersama pada lokasi patung Sigale-gale dengan menggunakan ulos yang disediakan pemandu wisata. Manortor dengan iringan musik Batak sehingga suasana menjadi menyatu dengan budaya Batak.

Setelah Manortor, rombongan diajak menuju kelompok Batu Kursi Kedua, terletak dibagian luar dari Huta Siallagan yang tak jauh dari huta. Pada kelompok Batu Kursi kedua terdapat Kursi untuk Raja, para Penasehat Raja dan tokoh Adat, termasuk masyarakat yang ingin menyaksikan pelaksanaan hukuman mati, sama seperti yang pertama semua atribut disini terbuat dari batu.

Hal yang menarik biasanya pemandu wisata meminta seorang dari pengunjung untuk dijadikan sebagai tersangka yang akan dieksekusi dan baru pemandu wisata menceritakan proses eksekusi terhadap penjahat yang dibawa Hulubalang Raja ke tempat eksekusi dengan mata tertutup menggunakan Ulos. kemudian penjahat ditempatkan diatas meja batu besar, bajunya ditanggalkan.

Sebelum eksekusi dilaksanakan, atas perintah Raja, Eksekutor yang juga Datu (memiliki ilmu gaib) menanyakan keinginan permintaan terakhir dari sang penjahat. Bila tidak ada lagi, selanjutnya eksekutor menanggalkan semua pakaian dari tubuh penjahat dan mengikat tangannya ke belakang. Dengan ditanggalkannya pakaian penjahat guna mengetahui dan menghilangkan bilamana kekuatan gaib yang dimiliki oleh penjahat.

Kemudian tubuh penjahat disayat dengan pisau tajam, sampai darah keluar dari tubuhnya. Bila sang penjahat yang disayat tidak juga mengeluarkan darah, maka penjahat dibuat telanjang dan diletakkan diatas meja batu, kemudian disayat-sayat kembali bahkan air jeruk purut diteteskan kedalam luka sayatan, sehingga eksekutor yakin sang penjahat tidak lagi memiliki kekuatan gaib di tubuhnya. Eksekutor harus memastikan bahwa sang penjahat sungguh-sungguh tidak memiliki kekuatan apapun, jauh dari segala sesuatu yang berbau kekuatan magis.

Selanjutnya tubuh sang penjahat diangkat dan diletakkan ke atas batu pancungan telungkup dengan posisi leher persis berada disisi batu, sehingga kelak bila dilakukan eksekusi, sekali tebas kepala terpisah dari tubuhnya. Selanjutnya Sang Datu, dengan membacakan mantra-mantra kemudian mengambil pedang yang sudah tersedia, dengan sekali tebas, kepala penjahat dipenggal hingga terpisah dari tubuhnya. Untuk mengetahui apakah benar penjahat sudah mati, sang Datu kemudian menancapkan kayu “Tunggal Panaluan” ke jantung penjahat, lalu jantung dan hati dikeluarkan dari tubuh penjahat dan darahnya ditampung dengan cawan.

Setelah itu, bagian kepala dibungkus dan dikubur ditempat yang jauh dari Huta Siallagan, biasanya tempat yang tidak pernah disentuh oleh manusia, sementara bagian badannya dibuang ke Danau Toba. Percaya atau tidak, ini hanya cerita yang terjadi pada masa dulu, hingga diawal abad ke 19 Masehi.

Penerapan hukuman pancung seperti diceritakan, tidak lagi dilaksanakan bahkan sudah dihapuskan termasuk ilmu-ilmu gaib dan kebathinan sudah ditinggalkan karena masyarakat sudah mempergunakan Hukum Negara yakni hukum pidana dan hukum perdata.

***

 

Scroll to Top